Meningkatnya
tuntutan konsumen akan jaminan mutu dan keamanan pangan mendorong pasar tunggal
Uni Eropa memperketat ketentuan mengenai sistem pengawasan mutu dan jaminan
keamanan pangan hasil perikanan. Hal ini berimplikasi pada penilaian mulai
tidak harmonisnya sistem pengawasan mutu hasil perikanan Indonesia dengan pasar
tunggal negara Uni Eropa.
Pada
mulanya, pembinaan dan pengawasan mutu hasil perikanan terbatas pada lingkup
pasca panen saja. Orientasi terletak pada pengujian mutu produk akhir
(end-product inspection).
Tetapi
sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat,
tuntutan konsumen terhadap jaminan mutu (quality assurance) hasil perikanan,
terutama yang diperdagangkan di pasar internasional, menjadi semakin meningkat.
Organisasi perdagangan dunia WTO pun, dalam aturannya mulai memasukkan
ketentuan tentang Sanitary and Phytosanitary (SPS). Demikian pula negara
importir, mensyaratkan negara eksportir harus menerapkan sistem pengawasan mutu
Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). HACCP adalah suatu konsepsi
manajemen mutu yang diterapkan untuk memberikan jaminan keamanan dan mutu
produk yang dihasilkan oleh unit pengolahan ikan.
Perubahan-perubahan
tadi masih dibarengi pula dengan perubahan pola konsumsi, dan semakin
beragamnya selera konsumen, yang pada gilirannya menuntut adanya
penganekaragaman baik jenis produk maupun bentuk penyajian hasil-hasil
perikanan.
Semua
perkembangan berlangsung simultan dengan perubahan tatanan perdagangan
internasional yang semakin mengarah kepada era perdagangan bebas yang sangat
kompetitif. Beberapa negara industri maju, termasuk pasar tunggal Uni Eropa,
cenderung memperketat ketentuan-ketentuan mengenai importasi terutama yang berkaitan
dengan persyaratan mutu hasil perikanan. Pengetatan nampaknya juga ditujukan
sebagai proteksi terselubung (disguised protection) untuk kepentingan
negaranya, setelah hambatan tarif tidak lagi diperkenankan dalam sistem
perdagangan pasar bebas.
Karenanya,
Indonesia sebagai negara produsen hasil perikanan dituntut untuk melaksanakan
pembangunan perikanan yang bertanggungjawab termasuk di bidang pasca panen dan
perdagangan (Post Harvest Practices and Trade), sesuai dengan prinsip-prinsip
yang tertuang dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries. Masalah mutu
harus menjadi orientasi dan tujuan dalam proses produksi dan distribusi hasil
perikanan. Dan pola pengolahan hasil perikanan pun harus diarahkan untuk
menghasilkan produk-produk yang sesuai dengan preferensi konsumen.
Sebagai
tindak-lanjutnya, kebijakan sistem pengawasan mutu di Indonesia secara umum
ditujukan untuk mempertahankan nilai gizi dan meningkatkan nilai ekonomi hasil
perikanan, serta memperkuat daya saing di pasar global. Pelaksanaan Sistem
Jaminan Mutu kemudian dijalankan, awalnya dikenal dengan nama Program Manajemen
Mutu Terpadu Hasil Perikanan (PMMT).
PMMT
sudah didasarkan pada konsepsi HACCP, dan dilaksanakan melalui pendekatan
keterpaduan tiga aspek. Yaitu, pertama, keterpaduan dalam ruang lingkup
kegiatan pembinaan dan pengawasan mutu hasil perikanan sejak prapanen, pasca
panen dan distribusi (budidaya, kapal, unit pengolahan dan sentra distribusi).
Kedua,
keterpaduan kelembagaan yang menangani, dikoordinasikan oleh unit kerja pusat dan
daerah sehingga jaringan sistem pembinaan dan pengawasan mutu dipertahankan
dalam lingkup nasional, regional dan lembaga internasional. Dan ketiga,
keterpaduan yang melibatkan sektor swasta sebagai praktisi manajemen mutu.
Swasta secara mandiri dan konsekuen perlu menerapkan pengawasan mutu, sedangkan
pemerintah bertindak sebagai pembina dan pengawas terhadap pelaksanaan
manajemen mutu.
Sudah
Harmonis Sejak 1994
Pemerintah
Indonesia, dalam hal ini awalnya Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen
Pertanian, sesungguhnya sudah berhasil merespon berbagai perkembangan
lingkungan strategik dengan mengembangkan sistem jaminan mutu berdasarkan
konsepsi HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point), yang tertuang dalam
Program Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan (PMMT), serta secara
terus-menerus melaksanakan pengembangan produk (product development).
Pelaksanaan
sistem pengawasan mutu Indonesia itu, meliputi aturan-aturan tentang pengawasan
mutu yang harus mempunyai kesamaan dengan Uni Eropa (UE) selaku pasar negara
tujuan. UE, dalam ketentuannya mensyaratkan setiap negara, termasuk Indonesia,
harus mempunyai satu lembaga yang secara khusus bertanggungjawab menangani
sistem pengawasan mutu, disebut sebagai Competent Authority (CA). Dalam
aturan-peraturan pengawasan mutu harus tergambar bagaimana kelembagaan, atau
unit organisasi CA yang menangani sistem pengawasan mutu itu mempunyai hubungan
directly dari pusat sampai ke daerah.
Lalu
pada tanggal 1-5 Desember 1993 sebuah tim dari Uni Eropa datang ke Indonesia untuk
melakukan inspeksi ke berbagai instansi pemerintah di Indonesia. Diantaranya,
ke Departemen Perdagangan beserta unit kerja yang melakukan pengujian mutu
barang, lalu ke Departemen Perindustrian dan Departemen Kesehatan. Mereka juga
mendatangi Departemen Pertanian, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perikanan,
termasuk Laboratorium Penguji Mutu Hasil Perikanan, Dinas Perikanan Provinsi
dan Kabupaten, serta unit pengolahan hasil perikanan, kapal ikan, tambak, dan
fish handling.
Tim
inspeksi UE ini datang untuk mengevaluasi bagaimana Sistem Pembinaan dan
Pengawasan Mutu Hasil Perikanan diterapkan di Indonesia, apakah telah mempunyai
kesamaan dengan sistem pengawasan mutu UE atau belum. Mereka juga menilai,
instansi manakah yang mampu untuk ditunjuk sebagai Competent Authority, dan
Laboratorium Penguji mana yang mampu untuk ditunjuk sebagai penerbit Sertifikat
Kesehatan atau Health Certificate (HC). Mereka juga memantau kondisi sanitasi
dan higiene kapal, tambak, fish handling, kelayakan Unit Pengolahan Hasil
Perikanan dari aspek sanitasi dan higiene.
Hasil
inspeksi mereka ternyata memuaskan, Indonesia dinilai telah mempunyai kesamaan
sistem pengawasan mutu hasil perikanan dengan mereka, dianggap sudah sesuai
atau harmonize. Hasil ini lalu disampaikan ke DG VI Komisi Eropa untuk
dirapatkan, dan selanjutnya berhasil ditetapkan ke dalam sebuah keputusan yang
tertuang dalam CD.94/324/EC tertanggal 19 Mei 1994. Dengan adanya kerjasama ini
ekspor hasil perikanan Indonesia ke UE mendapatkan pengurangan Inspeksi Pengujian
Mutu.
Satu-satunya
Competent Authority yang ditunjuk di Indonesia untuk melakukan pengawasan mutu
hasil perikanan yang diekspor ke Uni Eropa adalah Direktorat Jenderal
Perikanan, di bawah Departemen Pertanian Republik Indonesia. Comission
Decission ini menetapkan pula Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil
Perikanan (LPPMHP) sebagai laboratorium yang berhak menerbitkan Health
Certificate (HC), atas nama Ditjen Perikanan, Departemen Pertanian RI.
Isi
dari HC diantaranya menjelaskan bahwa produk tersebut ditangkap, ditangani di
kapal, didaratkan (landing), diproses sesuai dengan HACCP, dikemas, disimpan,
diinspeksi/diuji, ditransportasikan/didistribusikan dan dimonitor sesuai dengan
ketentuan dalam Council Directive (CD) No. 92/493/EEC, sehingga aman dikonsumsi
manusia.
Bentuk
dan isi Health Certificate, khusus untuk negara UE itu telah ditetapkan sendiri
oleh UE. Penandatanganan (specimen) Health Certificate berikut capnya turut
pula didaftarkan kepada semua negara UE.
Demikian
pula Unit Pengolahan Ikan yang boleh melakukan ekspor ke 15 negara UE (sekarang
sudah 25 negara anggota), adalah perusahaan yang memiliki kelayakan dasar dan
telah menerapkan sistem jaminan mutu berdasarkan HACCP, serta diusulkan oleh
Direktorat Jenderal Perikanan untuk mendapatkan Approval Number.
Dengan
ditetapkannya bentuk HC, dan Penandatangan HC, apabila ada lembaga sertifikasi
lain yang menerbitkan HC dengan format dan isi serta tandatangan dan cap yang
berbeda, dan tidak sesuai dengan specimen yang ada di UE, maka produk tersebut
otomatis ditolak.
Untuk
memberikan landasan hukum kepada penerapan PMMT, pada tanggal 9 Februari 1998
pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri Pertanian No. 41/Kptsn/IK.210/2/98
tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan, yang dilanjutkan dengan
Keputusan Direktur Jenderal Perikanan No. 14128/Kpts/IK.130/XII/98 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan.
Lingkungan
Eksternal dan Internal Berubah
Bersamaan
tuntutan konsumen yang berubah, terjadi pula perubahan peraturan yang
berimplikasi kepada keharusan memperbaiki sistem pengawasan mutu yang lebih
baru. Yaitu, keharusan terpenuhinya jaminan mutu dan keamanan pangan sejak ikan
ditangkap, atau sejak dari pembudidayaan hingga siap disajikan diatas meja (From
Farm/ Catch to Table). Di lingkungan internal sendiri pun terjadi pula
reorganisasi.
Pada
tahun 2001 resmilah berdiri Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Dan seusai
reorganisasi, Indonesia pernah mengajukan dua nama yakni Ditjen Perikanan
Tangkap dan Ditjen Perikanan Budidaya sebagai Competent Authority yang baru ke
UE. Tetapi UE ternyata menolak sebab berdasarkan CD 2001/254/EEC, yang
ditetapkan sebagai CA adalah Ditjen Perikanan (di bawah Departemen Pertanian).
Sebagai CA, Ditjen Perikananlah yang bertanggungjawab atas pelaksanaan sistem
pengawasan mutu hasil perikanan di Indonesia.
Perubahan
internal lain adalah berlakunya kebijakan otonomi daerah, dimana peran
pemerintah pusat dalam berbagai hal menjadi semakin berkurang. Pemerintah
daerah pun tak lagi peduli memperhatikan pentingnya pengawasan mutu hasil
perikanan. Kasus-kasus Rapyd Alert System (RAS) pada ekspor hasil perikanan
Indonesia mulai ditemukan sejak tahun 2003 dan awal 2004 dengan total sejumlah
38 kasus. Kasus itu antara lain ditemukannya kadar histamin pada ikan tuna,
ditemukan dua kasus keracunan konsumen, dan ditemukan pula kadar logam berat
seperti Hg, Cd, dan Pb pada ikan ekspor Indonesia.
Terkait
mulai bergesernya lembaga Competent Authority, ditambah semakin meningkatnya
tuntutan konsumen akan jaminan keamanan pangan, sejak September 2001 mulai
banyak hasil perikanan Indonesia ditahan di pelabuhan masuk negara Uni Eropa.
Dan khusus kepada produk udang dikenakan sanksi untuk dihanguskan karena
ditemukan antibiotik (chlorampenicol).
Konon
alasan penahanan karena masalah cap Competent Authority sebagai penerbit Health
Certificate dinyatakan tidak sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam
Comission Decission No.2001/524/EC sebagai perubahan dari amandemen
CD.94/324/EC. Sedangkan masalah chlorampenicol yang ditemukan pada udang, itu
dikaitkan dengan pelaksanaan Program Monitoring Antibiotik sebagaimana
ditetapkan dalam CD.2001/31/EC sebagai amandemen CD.2000/159/EC.
Berdasarkan
hal-hal tersebut di atas, dalam berbagai kesempatan diskusi, seminar, dan
pertemuan-pertemuan formal serta informal lainnya, termasuk setelah melalui
serangkaian inspeksi langsung oleh pengawas mutu dari UE, secara lisan UE
berkali-kali mengancam akan mengembargo semua produk ekspor hasil perikanan
Indonesia apabila Indonesia tak segera membenahi sistem pengawasan mutu hasil
perikanannya. Ancaman ini secara tertulis sebagai peringatan resmi kepada
Indonesia, supaya segera memperbaiki kualitas dan kesehatan produk perikanan,
akhirnya disampaikan pada awal Mei 2006.
Fakta-fakta
yang turut disampaikan dalam suratnya itu antara lain adalah, ditemukan
sejumlah produk hasil perikanan Indonesia yang mengandung logam berat,
melachite green, serta leucomalachite green (sejenis zat kimia) pada delapan
persen dari total volume ekspor perikanan Indonesia ke UE. Ketiga jenis bahan
kimia ini dikenal sangat membahayakan kesehatan manusia.
Namun
dalam suratnya tersebut Indonesia masih diberi kesempatan untuk memperbaiki
sistem pengawasan mutu hasil perikanannya. Setelah peringatan resmi ini,
apabila ketentuan mengenai sistem pengawasan mutu hasil perikanan masih tak
juga dipatuhi, maka, seusai inspeksi dari tim pengawas mutu UE yang kembali
akan berlangsung pada awal tahun 2007, apabila hasilnya masih tak memuaskan
besar kemungkinan Indonesia akan menghadapi kenyataan pahit dikenakan embargo.
Embargo,
itu berarti sejumlah komoditas hasil perikanan Indonesia berupa udang, tuna,
paha katak, dan bandeng akan kehilangan pasar di UE. Padahal pada tahun 2004
ekspor hasil perikanan Indonesia ke UE sudah mencapai 99.374 ton senilai 249,01
juta dollar AS, kemudian meningkat di tahun 2005 menjadi 109.871 ton senilai
588,80 juta dollar AS. Apabila tak sepenuhnya mengadopsi standar mutu yang
dipersyaratkan oleh negara tujuan ekspor Uni Eropa, bisa dipastikan Indonesia
akan mengalami hambatan mengekspor hasil perikanannya.
Mencari
Solusi Jalan Keluar
Sistem
pengawasan mutu hasil perikanan terus berkembang sesuai tuntutan konsumen. Jika
sebelumnya yang diuji adalah produk akhir, dalam sistem yang lebih baru
pengujian sudah dilakukan sejak dari kapal, di budidaya, di pendaratan pabrik,
dan memonitor residu di budidaya secara lengkap tentang 12 parameter uji.
Jika
sebelumnya pengawasan mutu hasil perikanan untuk ekspor ke Uni Eropa mengacu
kepada ketentuan dalam CD 91/493/EEC, 92/48/EEC, dan 94/324/EEC, kini muncul
lagi ketentuan terbaru, tertuang dalam Regulasi 852/2004, 853/2004, dan
854/2004 yang sudah efektif berlaku paling lambat 1 Januari 2006. Oleh
Pemerintah RI ketentuan terbaru ini sudah diadopsi ke dalam SK Menteri Kelautan
dan Perikanan No. 21/Men/2004 tentang Pengawasan Mutu Produk Perikanan yang
Dipasarkan ke Uni Eropa, tertanggal 9 Juni 2004.
Kasus
meningkatnya Rapyd Alert System (RAS) pada tahun 2003 dan di awal 2004, dimana
ditemukan tak kurang 38 kasus, mendorong UE untuk mendatangkan tim pengawas uji
mutu pada 15-23 April 2004 untuk mengetahui penerapan sistem pengawasan mutu
hasil perikanan di Indonesia. Hasilnya mereka tidak puas.
Mereka
mengatakan sistem, peraturan, dan pelaksanaan pengawasan mutu hasil perikanan
di Indonesia sudah tidak harmonize lagi dengan UE. Memang, walau tidak puas,
mereka masih memberi kita kesempatan untuk melakukan sejumlah perbaikan
terutama pada aspek peraturan, aspek teknis, aspek SDM, dan aspek peralatan
teknologi.
Pada
19-30 September 2005 lagi-lagi sebuah tim inspeksi dari UE terdiri Mr Bruno
Brigaudeau (Ketua Tim), Mr Rui Delovino, Mr Luca Farina, dan Mr Graham Wood
datang ke Indonesia dan tetap saja mereka tidak puas. Pada awal Mei 2006 UE
akhirnya mengeluarkan surat peringatan agar Indonesia segera membenahi sistem
pengawasan mutu hasil perikanannya. Inspeksi lanjutan masih akan dilaksanakan
pada awal tahun 2007 nanti. Jika hasilnya tetap tidak memuaskan mereka, tidak
ada keputusan lain kecuali hasil perikanan Indonesia akan dikenakan embargo.
Terdapat
empat hal yang bisa didiskusikan untuk menyelesaikan ancaman embargo ini.
Pertama, peraturan-peraturan Indonesia tentang sistem pengawasan mutu hasil
perikanan harus segera diharmonisasikan dengan peraturan-peraturan UE; Kedua,
peralatan-peralatan laboratorium harus segera dilengkapi dengan yang lebih
berteknologi baru supaya sesuai dengan tuntutan pengujian parameter uji;
Ketiga, SDM pengawasan mutu harus segera ditingkatkan kualitasnya; Dan keempat,
kelembagaan pengawasan mutu harus juga dibenahi betul. Bila saja keempat hal
ini tak ditangani secara baik, kuat dugaan ekspor hasil perikanan Indonesia
akan terhambat memasuki pasar Uni Eropa.
Untuk
keluar dari lilitan persoalan ini ternyata mudah saja. Sebab, setelah melihat
semua peraturan yang ada, setelah melakukan diskusi dengan para ekspert dari
UE, saya tiba pada kesimpulan bahwa Indonesia sesungguhnya sudah memiliki semua
peraturan di bidang pengawasan mutu. Hanya saja semuanya terpencar di berbagai
peraturan. Misalnya, ada yang tertuang pada UU No. 31/2004 tentang Perikanan;
pada UU No. 7/1996 tentang Pangan; pada PP No. 28/2004 tentang Gizi dan Mutu
Pangan; pada PP No. 102/2000 tentang Standar Nasional Indonesia (SNI); pada
Kepmen Kelautan dan Perikanan No. Kep.01/Men/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu
Terpadu Hasil Perikanan; pada Kepmen Kelautan dan Perikanan No. Kep.06/Men/2002
tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemeriksaan Mutu Hasil Perikanan yang Masuk
ke Wilayah Republik Indonesia; pada SK Dirjen Perikanan Nomor
14128/Kpts/IK.130/XII/1998 tentang Pelaksanaan Sistem Manajemen Mutu Terpadu
Hasil Perikanan; pada Kepmen Kelautan dan Perikanan No. Kep.21/Men/2004 tentang
Pengawasan Mutu Produk Perikanan yang Dipasarkan ke Uni Eropa; dan pada SK
Dirjen Perikanan Tangkap No. 3511/DPT.0/PI.320.S4/VII/2004 tentang Persyaratan
Higiene di Kapal Penangkap Ikan Yang Hasil Tangkapannya untuk Pasar Uni Eropa
Dengan
demikian setelah dianalisa, dapat disimpulkan, kebijakan pengawasan mutu
hasil-hasil perikanan harus dibenahi dengan menyempurnakan kebijakan yang sudah
ada. Cara mudahnya, ambillah ketentuan-ketentuan yang diperlukan dari masing-masing
peraturan yang mencar tadi, himpun menjadi satu kebijakan operasional,
sempurnakan, tutupi yang masih bolong, dan tambahkan yang dianggap perlu dari
perauran Uni Eropa seperti EU Regulation No.852; 853; 854 dan 882, lalu
tuangkan ke dalam Peraturan Pemerintah atau surat keputusan setingkat Menteri.
Penuangan
ini sesungguhnya senafas-sejiwa dengan semangat UU No. 31/2004 tentang
Perikanan, khususnya pada bunyi Pasal 22, yang menyebutkan, “Ketentuan lebih
lanjut mengenai sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan, sertifikat
kelayakan pengolahan, sertifikat penerapan manajemen mutu terpadu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20, dan sertifikat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
Psal 21, diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Penuangan
ke dalam sebuah ketentuan yang lebih baru sangat mendesak sebab dalam setiap
inspeksi biasanya yang pertama kali mereka lihat bukan aspek fisiknya.
Melainkan, dimulai dengan bertanya, mana peraturan pengawasan mutunya, unit
mana yang melaksanakan, siapa yang melaksanakan, bagaimana kualifikasi
pelaksananya, sampai kepada kunjungan ke perusahaan dan ke kapal-kapal. Kalau
aturan pengawasan mutu saja kita masih tak jelas maka ketika melakukan inspeksi
pastilah penilaian mereka akan menyebutkan sistem pengawasan mutu kita tidak
benar.
Kebijakan
operasional yang lebih baru ini harus mencakup keseluruhan. Dalam pengertian,
kalau dahulu pengawasan mutu hasil perikanan ditangani oleh Ditjen Perikanan,
setelah berdiri Departemen Kelautan dan Perikanan terdapat tiga Ditjen yang
menangani pengawasan mutu. Yakni Ditjen Perikanan Tangkap, Ditjen Perikanan
Budidaya, dan Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil-Hasil Perikanan (P2HP).
Padahal
berdasarkan ketentuan UE hanya ada satu Competent Authority di setiap negara.
Saat ini CA mestinya hanya ada di Ditjen P2HP. Dengan demikian pengawasan mutu
hasil perikanan mestinya merupakan pendelegasian oleh Ditjen P2HP kepada kedua
Ditjen lainnya berdasarkan guideline dari Ditjen P2HP. Kedua Ditjen ini
haruslah mengikuti petunjuk-petunjuk yang disiapkan oleh CA (Ditjen P2HP),
termasuk bagaimana pembenahan kualitas SDM pengawas mutunya.
Demikian
pula terhadap LPPHP dan dinas-dinas perikanan di tingkat provinsi, seharusnya
merupakan pendelegasian dari CA. Sudah selayaknya pula mulai dipikirkan status
dan kapasitas lembaga Competent Authority ini di Indonesia, supaya bisa
ditingkatkan menjadi setingkat direktorat jenderal, yaitu Direktorat Jenderal
Penilikan dan Pengendalian Mutu Hasil Perikanan (Directorat General of Fish
Inspection & Quality Control). Posisinya menjadi kuat dalam menjalankan
pengawasan mutu, Ditjen baru ini nantinya secara khusus hanya akan melakukan
inspeksi dan pengendalian terhadap totalitas pembudidayaan, penangkapan, hingga
didaratkan dan pengolahan.
*Penulis
adalah Direktur Standardisasi dan Akreditasi, Ditjen P2HP, Departemen Kelautan
dan Perikanan RI, saat ini sedang mengambil Program S-3 di IPB Bogor. (Berita
Indonesia 26)
sumber :www.beritaindonesia.co.id/publik/menjawab-ancaman-embargo-uni-eropa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar