Sabtu, 28 April 2012

Menjawab Ancaman Embargo Uni Eropa


Meningkatnya tuntutan konsumen akan jaminan mutu dan keamanan pangan mendorong pasar tunggal Uni Eropa memperketat ketentuan mengenai sistem pengawasan mutu dan jaminan keamanan pangan hasil perikanan. Hal ini berimplikasi pada penilaian mulai tidak harmonisnya sistem pengawasan mutu hasil perikanan Indonesia dengan pasar tunggal negara Uni Eropa. 
Pada mulanya, pembinaan dan pengawasan mutu hasil perikanan terbatas pada lingkup pasca panen saja. Orientasi terletak pada pengujian mutu produk akhir (end-product inspection).  
Tetapi sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat, tuntutan konsumen terhadap jaminan mutu (quality assurance) hasil perikanan, terutama yang diperdagangkan di pasar internasional, menjadi semakin meningkat. Organisasi perdagangan dunia WTO pun, dalam aturannya mulai memasukkan ketentuan tentang Sanitary and Phytosanitary (SPS). Demikian pula negara importir, mensyaratkan negara eksportir harus menerapkan sistem pengawasan mutu Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). HACCP adalah suatu konsepsi manajemen mutu yang diterapkan untuk memberikan jaminan keamanan dan mutu produk yang dihasilkan oleh unit pengolahan ikan. 
Perubahan-perubahan tadi masih dibarengi pula dengan perubahan pola konsumsi, dan semakin beragamnya selera konsumen, yang pada gilirannya menuntut adanya penganekaragaman baik jenis produk maupun bentuk penyajian hasil-hasil perikanan. 
Semua perkembangan berlangsung simultan dengan perubahan tatanan perdagangan internasional yang semakin mengarah kepada era perdagangan bebas yang sangat kompetitif. Beberapa negara industri maju, termasuk pasar tunggal Uni Eropa, cenderung memperketat ketentuan-ketentuan mengenai importasi terutama yang berkaitan dengan persyaratan mutu hasil perikanan. Pengetatan nampaknya juga ditujukan sebagai proteksi terselubung (disguised protection) untuk kepentingan negaranya, setelah hambatan tarif tidak lagi diperkenankan dalam sistem perdagangan pasar bebas. 
Karenanya, Indonesia sebagai negara produsen hasil perikanan dituntut untuk melaksanakan pembangunan perikanan yang bertanggungjawab termasuk di bidang pasca panen dan perdagangan (Post Harvest Practices and Trade), sesuai dengan prinsip-prinsip yang tertuang dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries. Masalah mutu harus menjadi orientasi dan tujuan dalam proses produksi dan distribusi hasil perikanan. Dan pola pengolahan hasil perikanan pun harus diarahkan untuk menghasilkan produk-produk yang sesuai dengan preferensi konsumen. 
Sebagai tindak-lanjutnya, kebijakan sistem pengawasan mutu di Indonesia secara umum ditujukan untuk mempertahankan nilai gizi dan meningkatkan nilai ekonomi hasil perikanan, serta memperkuat daya saing di pasar global. Pelaksanaan Sistem Jaminan Mutu kemudian dijalankan, awalnya dikenal dengan nama Program Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan (PMMT). 
PMMT sudah didasarkan pada konsepsi HACCP, dan dilaksanakan melalui pendekatan keterpaduan tiga aspek. Yaitu, pertama, keterpaduan dalam ruang lingkup kegiatan pembinaan dan pengawasan mutu hasil perikanan sejak prapanen, pasca panen dan distribusi (budidaya, kapal, unit pengolahan dan sentra distribusi). 
Kedua, keterpaduan kelembagaan yang menangani, dikoordinasikan oleh unit kerja pusat dan daerah sehingga jaringan sistem pembinaan dan pengawasan mutu dipertahankan dalam lingkup nasional, regional dan lembaga internasional. Dan ketiga, keterpaduan yang melibatkan sektor swasta sebagai praktisi manajemen mutu. Swasta secara mandiri dan konsekuen perlu menerapkan pengawasan mutu, sedangkan pemerintah bertindak sebagai pembina dan pengawas terhadap pelaksanaan manajemen mutu. 
Sudah Harmonis Sejak 1994
Pemerintah Indonesia, dalam hal ini awalnya Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian, sesungguhnya sudah berhasil merespon berbagai perkembangan lingkungan strategik dengan mengembangkan sistem jaminan mutu berdasarkan konsepsi HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point), yang tertuang dalam Program Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan (PMMT), serta secara terus-menerus melaksanakan pengembangan produk (product development). 
Pelaksanaan sistem pengawasan mutu Indonesia itu, meliputi aturan-aturan tentang pengawasan mutu yang harus mempunyai kesamaan dengan Uni Eropa (UE) selaku pasar negara tujuan. UE, dalam ketentuannya mensyaratkan setiap negara, termasuk Indonesia, harus mempunyai satu lembaga yang secara khusus bertanggungjawab menangani sistem pengawasan mutu, disebut sebagai Competent Authority (CA). Dalam aturan-peraturan pengawasan mutu harus tergambar bagaimana kelembagaan, atau unit organisasi CA yang menangani sistem pengawasan mutu itu mempunyai hubungan directly dari pusat sampai ke daerah. 
Lalu pada tanggal 1-5 Desember 1993 sebuah tim dari Uni Eropa datang ke Indonesia untuk melakukan inspeksi ke berbagai instansi pemerintah di Indonesia. Diantaranya, ke Departemen Perdagangan beserta unit kerja yang melakukan pengujian mutu barang, lalu ke Departemen Perindustrian dan Departemen Kesehatan. Mereka juga mendatangi Departemen Pertanian, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perikanan, termasuk Laboratorium Penguji Mutu Hasil Perikanan, Dinas Perikanan Provinsi dan Kabupaten, serta unit pengolahan hasil perikanan, kapal ikan, tambak, dan fish handling. 
Tim inspeksi UE ini datang untuk mengevaluasi bagaimana Sistem Pembinaan dan Pengawasan Mutu Hasil Perikanan diterapkan di Indonesia, apakah telah mempunyai kesamaan dengan sistem pengawasan mutu UE atau belum. Mereka juga menilai, instansi manakah yang mampu untuk ditunjuk sebagai Competent Authority, dan Laboratorium Penguji mana yang mampu untuk ditunjuk sebagai penerbit Sertifikat Kesehatan atau Health Certificate (HC). Mereka juga memantau kondisi sanitasi dan higiene kapal, tambak, fish handling, kelayakan Unit Pengolahan Hasil Perikanan dari aspek sanitasi dan higiene.
Hasil inspeksi mereka ternyata memuaskan, Indonesia dinilai telah mempunyai kesamaan sistem pengawasan mutu hasil perikanan dengan mereka, dianggap sudah sesuai atau harmonize. Hasil ini lalu disampaikan ke DG VI Komisi Eropa untuk dirapatkan, dan selanjutnya berhasil ditetapkan ke dalam sebuah keputusan yang tertuang dalam CD.94/324/EC tertanggal 19 Mei 1994. Dengan adanya kerjasama ini ekspor hasil perikanan Indonesia ke UE mendapatkan pengurangan Inspeksi Pengujian Mutu. 
Satu-satunya Competent Authority yang ditunjuk di Indonesia untuk melakukan pengawasan mutu hasil perikanan yang diekspor ke Uni Eropa adalah Direktorat Jenderal Perikanan, di bawah Departemen Pertanian Republik Indonesia. Comission Decission ini menetapkan pula Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) sebagai laboratorium yang berhak menerbitkan Health Certificate (HC), atas nama Ditjen Perikanan, Departemen Pertanian RI. 
Isi dari HC diantaranya menjelaskan bahwa produk tersebut ditangkap, ditangani di kapal, didaratkan (landing), diproses sesuai dengan HACCP, dikemas, disimpan, diinspeksi/diuji, ditransportasikan/didistribusikan dan dimonitor sesuai dengan ketentuan dalam Council Directive (CD) No. 92/493/EEC, sehingga aman dikonsumsi manusia. 
Bentuk dan isi Health Certificate, khusus untuk negara UE itu telah ditetapkan sendiri oleh UE. Penandatanganan (specimen) Health Certificate berikut capnya turut pula didaftarkan kepada semua negara UE. 
Demikian pula Unit Pengolahan Ikan yang boleh melakukan ekspor ke 15 negara UE (sekarang sudah 25 negara anggota), adalah perusahaan yang memiliki kelayakan dasar dan telah menerapkan sistem jaminan mutu berdasarkan HACCP, serta diusulkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan untuk mendapatkan Approval Number. 
Dengan ditetapkannya bentuk HC, dan Penandatangan HC, apabila ada lembaga sertifikasi lain yang menerbitkan HC dengan format dan isi serta tandatangan dan cap yang berbeda, dan tidak sesuai dengan specimen yang ada di UE, maka produk tersebut otomatis ditolak. 
Untuk memberikan landasan hukum kepada penerapan PMMT, pada tanggal 9 Februari 1998 pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri Pertanian No. 41/Kptsn/IK.210/2/98 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan, yang dilanjutkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Perikanan No. 14128/Kpts/IK.130/XII/98 tentang Petunjuk Pelaksanaan Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan. 
Lingkungan Eksternal dan Internal Berubah 
Bersamaan tuntutan konsumen yang berubah, terjadi pula perubahan peraturan yang berimplikasi kepada keharusan memperbaiki sistem pengawasan mutu yang lebih baru. Yaitu, keharusan terpenuhinya jaminan mutu dan keamanan pangan sejak ikan ditangkap, atau sejak dari pembudidayaan hingga siap disajikan diatas meja (From Farm/ Catch to Table). Di lingkungan internal sendiri pun terjadi pula reorganisasi. 
Pada tahun 2001 resmilah berdiri Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Dan seusai reorganisasi, Indonesia pernah mengajukan dua nama yakni Ditjen Perikanan Tangkap dan Ditjen Perikanan Budidaya sebagai Competent Authority yang baru ke UE. Tetapi UE ternyata menolak sebab berdasarkan CD 2001/254/EEC, yang ditetapkan sebagai CA adalah Ditjen Perikanan (di bawah Departemen Pertanian). Sebagai CA, Ditjen Perikananlah yang bertanggungjawab atas pelaksanaan sistem pengawasan mutu hasil perikanan di Indonesia. 
Perubahan internal lain adalah berlakunya kebijakan otonomi daerah, dimana peran pemerintah pusat dalam berbagai hal menjadi semakin berkurang. Pemerintah daerah pun tak lagi peduli memperhatikan pentingnya pengawasan mutu hasil perikanan. Kasus-kasus Rapyd Alert System (RAS) pada ekspor hasil perikanan Indonesia mulai ditemukan sejak tahun 2003 dan awal 2004 dengan total sejumlah 38 kasus. Kasus itu antara lain ditemukannya kadar histamin pada ikan tuna, ditemukan dua kasus keracunan konsumen, dan ditemukan pula kadar logam berat seperti Hg, Cd, dan Pb pada ikan ekspor Indonesia. 
Terkait mulai bergesernya lembaga Competent Authority, ditambah semakin meningkatnya tuntutan konsumen akan jaminan keamanan pangan, sejak September 2001 mulai banyak hasil perikanan Indonesia ditahan di pelabuhan masuk negara Uni Eropa. Dan khusus kepada produk udang dikenakan sanksi untuk dihanguskan karena ditemukan antibiotik (chlorampenicol). 
Konon alasan penahanan karena masalah cap Competent Authority sebagai penerbit Health Certificate dinyatakan tidak sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Comission Decission No.2001/524/EC sebagai perubahan dari amandemen CD.94/324/EC. Sedangkan masalah chlorampenicol yang ditemukan pada udang, itu dikaitkan dengan pelaksanaan Program Monitoring Antibiotik sebagaimana ditetapkan dalam CD.2001/31/EC sebagai amandemen CD.2000/159/EC. 
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dalam berbagai kesempatan diskusi, seminar, dan pertemuan-pertemuan formal serta informal lainnya, termasuk setelah melalui serangkaian inspeksi langsung oleh pengawas mutu dari UE, secara lisan UE berkali-kali mengancam akan mengembargo semua produk ekspor hasil perikanan Indonesia apabila Indonesia tak segera membenahi sistem pengawasan mutu hasil perikanannya. Ancaman ini secara tertulis sebagai peringatan resmi kepada Indonesia, supaya segera memperbaiki kualitas dan kesehatan produk perikanan, akhirnya disampaikan pada awal Mei 2006. 
Fakta-fakta yang turut disampaikan dalam suratnya itu antara lain adalah, ditemukan sejumlah produk hasil perikanan Indonesia yang mengandung logam berat, melachite green, serta leucomalachite green (sejenis zat kimia) pada delapan persen dari total volume ekspor perikanan Indonesia ke UE. Ketiga jenis bahan kimia ini dikenal sangat membahayakan kesehatan manusia. 
Namun dalam suratnya tersebut Indonesia masih diberi kesempatan untuk memperbaiki sistem pengawasan mutu hasil perikanannya. Setelah peringatan resmi ini, apabila ketentuan mengenai sistem pengawasan mutu hasil perikanan masih tak juga dipatuhi, maka, seusai inspeksi dari tim pengawas mutu UE yang kembali akan berlangsung pada awal tahun 2007, apabila hasilnya masih tak memuaskan besar kemungkinan Indonesia akan menghadapi kenyataan pahit dikenakan embargo. 
Embargo, itu berarti sejumlah komoditas hasil perikanan Indonesia berupa udang, tuna, paha katak, dan bandeng akan kehilangan pasar di UE. Padahal pada tahun 2004 ekspor hasil perikanan Indonesia ke UE sudah mencapai 99.374 ton senilai 249,01 juta dollar AS, kemudian meningkat di tahun 2005 menjadi 109.871 ton senilai 588,80 juta dollar AS. Apabila tak sepenuhnya mengadopsi standar mutu yang dipersyaratkan oleh negara tujuan ekspor Uni Eropa, bisa dipastikan Indonesia akan mengalami hambatan mengekspor hasil perikanannya. 
Mencari Solusi Jalan Keluar 
Sistem pengawasan mutu hasil perikanan terus berkembang sesuai tuntutan konsumen. Jika sebelumnya yang diuji adalah produk akhir, dalam sistem yang lebih baru pengujian sudah dilakukan sejak dari kapal, di budidaya, di pendaratan pabrik, dan memonitor residu di budidaya secara lengkap tentang 12 parameter uji. 
Jika sebelumnya pengawasan mutu hasil perikanan untuk ekspor ke Uni Eropa mengacu kepada ketentuan dalam CD 91/493/EEC, 92/48/EEC, dan 94/324/EEC, kini muncul lagi ketentuan terbaru, tertuang dalam Regulasi 852/2004, 853/2004, dan 854/2004 yang sudah efektif berlaku paling lambat 1 Januari 2006. Oleh Pemerintah RI ketentuan terbaru ini sudah diadopsi ke dalam SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 21/Men/2004 tentang Pengawasan Mutu Produk Perikanan yang Dipasarkan ke Uni Eropa, tertanggal 9 Juni 2004. 
Kasus meningkatnya Rapyd Alert System (RAS) pada tahun 2003 dan di awal 2004, dimana ditemukan tak kurang 38 kasus, mendorong UE untuk mendatangkan tim pengawas uji mutu pada 15-23 April 2004 untuk mengetahui penerapan sistem pengawasan mutu hasil perikanan di Indonesia. Hasilnya mereka tidak puas. 
Mereka mengatakan sistem, peraturan, dan pelaksanaan pengawasan mutu hasil perikanan di Indonesia sudah tidak harmonize lagi dengan UE. Memang, walau tidak puas, mereka masih memberi kita kesempatan untuk melakukan sejumlah perbaikan terutama pada aspek peraturan, aspek teknis, aspek SDM, dan aspek peralatan teknologi. 
Pada 19-30 September 2005 lagi-lagi sebuah tim inspeksi dari UE terdiri Mr Bruno Brigaudeau (Ketua Tim), Mr Rui Delovino, Mr Luca Farina, dan Mr Graham Wood datang ke Indonesia dan tetap saja mereka tidak puas. Pada awal Mei 2006 UE akhirnya mengeluarkan surat peringatan agar Indonesia segera membenahi sistem pengawasan mutu hasil perikanannya. Inspeksi lanjutan masih akan dilaksanakan pada awal tahun 2007 nanti. Jika hasilnya tetap tidak memuaskan mereka, tidak ada keputusan lain kecuali hasil perikanan Indonesia akan dikenakan embargo. 
Terdapat empat hal yang bisa didiskusikan untuk menyelesaikan ancaman embargo ini. Pertama, peraturan-peraturan Indonesia tentang sistem pengawasan mutu hasil perikanan harus segera diharmonisasikan dengan peraturan-peraturan UE; Kedua, peralatan-peralatan laboratorium harus segera dilengkapi dengan yang lebih berteknologi baru supaya sesuai dengan tuntutan pengujian parameter uji; Ketiga, SDM pengawasan mutu harus segera ditingkatkan kualitasnya; Dan keempat, kelembagaan pengawasan mutu harus juga dibenahi betul. Bila saja keempat hal ini tak ditangani secara baik, kuat dugaan ekspor hasil perikanan Indonesia akan terhambat memasuki pasar Uni Eropa. 
Untuk keluar dari lilitan persoalan ini ternyata mudah saja. Sebab, setelah melihat semua peraturan yang ada, setelah melakukan diskusi dengan para ekspert dari UE, saya tiba pada kesimpulan bahwa Indonesia sesungguhnya sudah memiliki semua peraturan di bidang pengawasan mutu. Hanya saja semuanya terpencar di berbagai peraturan. Misalnya, ada yang tertuang pada UU No. 31/2004 tentang Perikanan; pada UU No. 7/1996 tentang Pangan; pada PP No. 28/2004 tentang Gizi dan Mutu Pangan; pada PP No. 102/2000 tentang Standar Nasional Indonesia (SNI); pada Kepmen Kelautan dan Perikanan No. Kep.01/Men/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan; pada Kepmen Kelautan dan Perikanan No. Kep.06/Men/2002 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemeriksaan Mutu Hasil Perikanan yang Masuk ke Wilayah Republik Indonesia; pada SK Dirjen Perikanan Nomor 14128/Kpts/IK.130/XII/1998 tentang Pelaksanaan Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan; pada Kepmen Kelautan dan Perikanan No. Kep.21/Men/2004 tentang Pengawasan Mutu Produk Perikanan yang Dipasarkan ke Uni Eropa; dan pada SK Dirjen Perikanan Tangkap No. 3511/DPT.0/PI.320.S4/VII/2004 tentang Persyaratan Higiene di Kapal Penangkap Ikan Yang Hasil Tangkapannya untuk Pasar Uni Eropa 
Dengan demikian setelah dianalisa, dapat disimpulkan, kebijakan pengawasan mutu hasil-hasil perikanan harus dibenahi dengan menyempurnakan kebijakan yang sudah ada. Cara mudahnya, ambillah ketentuan-ketentuan yang diperlukan dari masing-masing peraturan yang mencar tadi, himpun menjadi satu kebijakan operasional, sempurnakan, tutupi yang masih bolong, dan tambahkan yang dianggap perlu dari perauran Uni Eropa seperti EU Regulation No.852; 853; 854 dan 882, lalu tuangkan ke dalam Peraturan Pemerintah atau surat keputusan setingkat Menteri. 
Penuangan ini sesungguhnya senafas-sejiwa dengan semangat UU No. 31/2004 tentang Perikanan, khususnya pada bunyi Pasal 22, yang menyebutkan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan, sertifikat kelayakan pengolahan, sertifikat penerapan manajemen mutu terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dan sertifikat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Psal 21, diatur dengan Peraturan Pemerintah”. 
Penuangan ke dalam sebuah ketentuan yang lebih baru sangat mendesak sebab dalam setiap inspeksi biasanya yang pertama kali mereka lihat bukan aspek fisiknya. Melainkan, dimulai dengan bertanya, mana peraturan pengawasan mutunya, unit mana yang melaksanakan, siapa yang melaksanakan, bagaimana kualifikasi pelaksananya, sampai kepada kunjungan ke perusahaan dan ke kapal-kapal. Kalau aturan pengawasan mutu saja kita masih tak jelas maka ketika melakukan inspeksi pastilah penilaian mereka akan menyebutkan sistem pengawasan mutu kita tidak benar. 
Kebijakan operasional yang lebih baru ini harus mencakup keseluruhan. Dalam pengertian, kalau dahulu pengawasan mutu hasil perikanan ditangani oleh Ditjen Perikanan, setelah berdiri Departemen Kelautan dan Perikanan terdapat tiga Ditjen yang menangani pengawasan mutu. Yakni Ditjen Perikanan Tangkap, Ditjen Perikanan Budidaya, dan Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil-Hasil Perikanan (P2HP). 
Padahal berdasarkan ketentuan UE hanya ada satu Competent Authority di setiap negara. Saat ini CA mestinya hanya ada di Ditjen P2HP. Dengan demikian pengawasan mutu hasil perikanan mestinya merupakan pendelegasian oleh Ditjen P2HP kepada kedua Ditjen lainnya berdasarkan guideline dari Ditjen P2HP. Kedua Ditjen ini haruslah mengikuti petunjuk-petunjuk yang disiapkan oleh CA (Ditjen P2HP), termasuk bagaimana pembenahan kualitas SDM pengawas mutunya. 
Demikian pula terhadap LPPHP dan dinas-dinas perikanan di tingkat provinsi, seharusnya merupakan pendelegasian dari CA. Sudah selayaknya pula mulai dipikirkan status dan kapasitas lembaga Competent Authority ini di Indonesia, supaya bisa ditingkatkan menjadi setingkat direktorat jenderal, yaitu Direktorat Jenderal Penilikan dan Pengendalian Mutu Hasil Perikanan (Directorat General of Fish Inspection & Quality Control). Posisinya menjadi kuat dalam menjalankan pengawasan mutu, Ditjen baru ini nantinya secara khusus hanya akan melakukan inspeksi dan pengendalian terhadap totalitas pembudidayaan, penangkapan, hingga didaratkan dan pengolahan. 
*Penulis adalah Direktur Standardisasi dan Akreditasi, Ditjen P2HP, Departemen Kelautan dan Perikanan RI, saat ini sedang mengambil Program S-3 di IPB Bogor. (Berita Indonesia 26)
sumber :www.beritaindonesia.co.id/publik/menjawab-ancaman-embargo-uni-eropa/ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar