Publikasi Triwulan
Pertama 2009 dari tiga lembaga negara bidang ekonomi, yaitu Bank Indonesia
(BI), Badan Koordinasi Penanaman Modal Indonesia (BKPM) dan Badan Pusat
Statistik (BPS) menunjukan perekonomian sektor perikanan kian terpuruk. Hal ini
dapat dilihat dari terus menurunnya nilai investasi, rendahnya daya serap
tenaga kerja, menurunnya kinerja dunia usaha sektor perikanan, menurunnya
neraca perdagangan produk perikanan dan menurunnya kinerja produksi perikanan
Indonesia.
Data BKPM (2009)
menunjukan pertumbuhan nilai realisasi investasi sektor perikanan dalam kurun
waktu 2006 – Pebruari 2009 mengalami penurunan sebesar 5,39 persen per tahun.
Nilai investasi sektor perikanan tahun 2006 mencapai Rp. 33.000.000.000 dengan
99,39 persen bersumber dari Penanaman Modal Asing (PMA). Sementara tahun 2008
nilai investasi sektor perikanan hanya mencapai Rp. 2.400.000.000 dengan 100
persen bersumber dari Penanaman Modal Asing (PMA). Sepanjang Januari – Pebruari
2009 nilai investasi sektor perikanan masih belum ada (Lihat Gambar 1). Hal ini
menunjukan bahwa sektor perikanan ternyata tidak mendapatkan perhatian yang
baik dari para pemodal dalam negeri. Pemerintah terlihat belum dapat
menyakinkan para pemodal dalam negeri untuk menanamkan investasinya di sektor
perikanan.
Penurunan nilai investasi
tersebut sangat berpengaruh terhadap penurunan kegiatan usaha sektor perikanan.
Berdasarkan survey kegiatan usaha yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia
(2009) menunjukan bahwa sektor perikanan merupakan salah satu sektor yang
mengalami penurunan. Data survey tersebut menunjukan bahwa nilai saldo besih
tertimbang (SBT) untuk sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan
nilainya negatif 1,48 persen. Penurunan kinerja usaha sektor perikanan juga
dapat dilihat dari kapasitas produksi yang terpakai. Data survey BI tersebut
menunjukan bahwa kapasitas produksi yang terpakai pada usaha sektor perikanan
dalam kurun waktu tahun 2006-2009 rata-rata sekitar 67,47 persen saja.
Buruknya iklim investasi
dan usaha sektor perikanan tersebut telah berdampak terhadap penyerapan tenaga
kerja di sektor perikanan. Data BKPM (2009) menunjukan bahwa penyerapan tenaga
kerja sektor perikanan periode 2006-2009 terus mengalami penurunan. Total
penyerapan tenaga kerja sektor perikanan tahun 2006 mencapai 1.207 orang.
Sementara tahun 2008 penyerapan tenaga kerja sektor perikanan mengalami
penurunan drastis menjadi 173 orang (Lihat Gambar 2).
Selain itu juga, dampak
menurunnya iklim investasi dan kinerja usaha sektor perikanan telah menurunkan
kinerja neraca pergadangan ekspor impor produk perikanan Indonesia. Data BPS
(2009) menunjukan bahwa pertumbuhan nilai neraca perdagangan ekspor impor
produk perikanan Indonesia dalam kurun waktu 2006-2008 mengalami penurunan
sebesar 2,47 persen per tahun, sementara itu pertumbuhan neraca volume perdagangan
ekspor impor produk perikanan Indonesia mengalami penurunan sebesar 0,02 persen
per tahun. Berdasarkan data BPS tersebut, penurunan kinerja neraca perdagangan
ekspor impor produk perikanan tersebut lebih disebaban oleh terus meningkatnya
volume dan nilai impor produk perikanan Indonesia.
Sumberdaya Ikan Kian
Kritis
Berdasarkan data Food
Outlook (FAO 2007) produksi perikanan tangkap Indonesia mengalami
penurunan sebesar 4,55 persen. Penurunan tersebut lebih besar dari
rata-rata penurunan produksi perikanan dari sepuluh negara produser perikanan
dunia, yaitu sebesar 2,37 persen. Pada tahun yang sama (2007), FAO
mempublikasikan bahwa kondisi sumberdaya ikan di sekitar perairan Indonesia,
terutama di sekitar perairan Samudera India dan samudera pasifik sudah
menujukan kondisi full exploited. Bahkan di perairan Samudera
Hindia kondisinya cenderung mengarah kepada overexploited. Artinya
bahwa dikedua perairan tersebut saat ini sudah tidak memungkinkan lagi untuk
dilakukan ekspansi penangkapan ikan secara besar-besaran. Hal ini memperkuat
dugaan para ahli selama ini bahwa kondisi sumberdaya ikan di beberapa wilayah
perairan sudah mengalami degradasi. Berdasarkan hal tersebut maka pemeritah
perlu secara cepat melakukan berbagai upaya guna menyelamatkan sumberdaya
perikanan di wilayah perairan Indonesia.
Hal yang cukup
menggembirakan terjadi pada produksi perikanan budidaya nasional. Menurut
catatan FAO (2007) tersebut terlihat bahwa produksi perikanan budidaya nasional
mengalam peningkatan sebesar 16,67 persen. Peningkatan ini jauh lebih besar
dari rata-rata peningkata produksi perikanan budidaya di sepuluh negara
produser perikanan budidaya dunia yang hanya mencapai sekitar 2,03 persen.
Tingginya pertumbuhan produksi perikanan budidaya tersebut mempertahankan
peringkat Indonesia sebagai negara kelima terbesar produser perikanan dunia.
Namun demikian guna mempertahankan dan meningkatkan produksi perikanan budidaya
nasional pemerintah perlu meningkatkan kualitas lahan budidaya. Hal ini
dimaksudkan guna lebih meningkatkan produktivitas lahan budidaya.
Arah Kebijakan
Perikanan
Berdasarkan hal tersebut
diatas maka guna memperbaiki produksi perikanan, peningkatan nilai ekspor dan
peningkatan nilai investasi perikanan, pemerintah perlu melakukan berbagai
upaya yang lebih komprehensif dan nyata dilapangan. Misalnya pertama,
reorietasi arah kebijakan revitalisasi Perikanan. Menurut hemat penulis
revitalisasi perikanan perlu diarahkan kepada dua hal, yaitu revitalisasi
lahan-lahan budidaya yang sudah mengalami degradasi seperti yang terjadi di
wilayah Pantura Jawa. Lahan budidaya di wilayah Pantura Jawa pada tahun 80-an
merupakan salah satu primadona penghasil produksi budidaya terbesar di
Indonesia. Namun demikian seiring dengan terus menurunya kualitas lahan
budidaya maka produksinya pun teru mengalami penurunan. Diperparah lagi belum
adanya upaya nyata dari pemerintah dan para pengusaha untuk meakukan perbaika
kualitas lahan budidaya di wilayah tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka guna
emertahankan produksi perikanan nasional, maka revitalisasi lahanlahan budidaya
sangat diperlukan.
Selain itu juga perlu
adanya revitalisasi beberapa kawasan penagkapan ikan yang diduga sudah
mengalami overfishing. Hal ini dapat dilakukan dengan cara moratorium sementara
aktivitas penangkapan ikan di beberapa kawasan tersebut, misalnya rencana
pemerintah untuk menutup sementara aktivitas penangkapan ikan di wilayah Laut
Arafura harus dilakukan secepatnya. Hal ini dimaksudkan agar kondisi sumberdaya
ikan di kawasan tersebut dapat kembali pulih seperti semula.
Kedua, memperbaiki daya
saing produk perikanan di pasar Internasional. Pemerintah dan para pengusaha
perikanan hendaknya dapat bekerjasama secara baik guna meningkatkan niai daya
saing produk perikanan tersebut. Selama ini kerjasama pemerintah dan para
pengusaha tersebut terkesa tidak ada. Pemerintah hanya berkepentingan dengan
pajak dari para pegusaha perikanan dan para pengusaha pun hanya berkepentingan
untuk kelengkapan perijinan usaha. Namun demikian bagaimana upaya untuk menyusun
strategi bersama dalam meningkatkan daya saing produk perikanan nasional masih
jarang dilakukan oleh pemerintah dan para pengusaha.
Ketiga, mendorong
meningkatnya nilai investasi perikanan dari penanaman modal dalam negeri
(PMDN). Hal ini dimaksudkan agar besarnya potensi sumberdaya kelautan dan
perikanan yang dimiliki bangsa ini dapat dinikmati oleh warga negaranya
sendiri. Selain itu juga pemerintah perlu untuk melakukan kajian lebih detail
tentang usaha-usaha perikanan yang dapat dikembangkan di Indonesia di
tahun-tahun yang akan datang. Dan yang lebih penting lagi adalah pemerintah
perlu merumuskan berbagai peraturan guna mendukung iklim investasi di sektor
perikanan.
Keempat, mengatasi
praktek IUU fishing secara lebih komprehensif. Pemerintah saat ini dalam
menangani praktek IUU fishing hanya sebatas menangkap kapal-kapal illegal,
padahal jauh dari itu praktek perikanan yang tidak dilaporkan (unreforted)
atau yang dilaporkan tidak semestinya (underreforted) tidak kalah
banyaknya.
Misalnya saja di wilayah
perairan Bitung, menurut survey penulis pada tahun 2005 dan 2006 tercatat
hampir sebagian besar perusahaan perikanan di sekitar perairan Bitung melakukan
kegiatan unreforted, dengan modus mendaratkan ikan di pelabuhan milik
perusahaannya sendiri. Hal yang sama penulis temukan di sekitar perairan
Sumatera Utara, dimana nelayan lebih baik mendaratkan ikan di Tangkahan Ikan
(Pelabuhan swasta) daripada di pelabuhan perikanan milik pemerintah. Aktivitas
tersebut telah berdampak terhadap pelabuhan perikanan tidak berfungsi optimal,
banyaknya data sumberdaya ikan yang tertangkap tidak terdata oleh pemerintah
daerah (unreforted fishing), hilangnya retribusi pelabuhan, hilangnya
jasa pelabuhan dan aktivitas pelelangan ikan tidak berfungsi. Berdasarkan
tersebut, dugaan penulis nilai kerugian akibat unreforted ini justru bisa lebih
besar dibandingkan dengan kerugian akibat illegal fishing. Selain itu juga yang
sangat penting dari kegiatan unreforted ini adalah ketersediaan data perikanan
yang tidak akurat saat ini. Sehingga kebijakan pemerintah di sektor perikanan
menjadi kurang tepat karena tidak ditunjang oleh data perikanan yang akurat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar