Pendahuluan
Sekarang
ini pemanasan global telah menjadi isu paling diperbincangkan di seluruh dunia.
Naiknya suhu global di muka bumi ini disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor
utama penyebab pemanasan global ini adalah efek dari rumah kaca. Pada dasarnya
semua ini terjadi akibat aktifitas manusia yang terlalu berlebihan. Pemanasan
global terjadi akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida
(CO2), metana (CH4), nitrogen oksida (NOx), chlorofluorocarbon (CFC) dan gas
lainnya secara berlebihan di atmosfer, sehingga cahaya matahari yang dipantulkan
bumi sebagai radiasi infra merah gelombang panjang dan ultraviolet yang akan diteruskan
ke angkasa luar, namun sebagian besar dipantulkan kembali ke bumi oleh gas
rumah kaca yang terbentuk di atmosfer, sehingga semakin meningkatkan temperatur
bumi.
Dampak
pemanasan global karena peningkatan temperatur bumi adalah berubahnya iklim global
berupa perubahan curah hujan dan naiknya intensitas frekwensi badai, naiknya
paras laut akibat memuainya air laut pada temperatur yang lebih tinggi dan
akibat mencairnya es abadi di kawasan kutub bumi, salinitas menurun dan
sedimentasi meningkat di kawasan pesisir dan lautan, sehingga semakin mengancam
keberlanjutan sumberdaya alam pesisir dan laut sebagai penyangga kehidupan
manusia.
Kerusakan Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan salah satu
biota laut yang mengalami kerusakan akibat pemanasan global ini. Dengan kenaikan
temperatur 1oC saja polip karang mengalami stress berat dan jika
berlangsung dalam waktu lama (3-6 bulan), akan menyebabkan lepasnya alga
zooxanthellae dalam tubuh hewan karang, dimana peristiwa ini disebut
pencucian/pemutihan karang (coral bleaching). Meningkatnya temperatur perairan
laut diluar batas normal, tingginya intensitas sinar ultraviolet, meningkatnya
kekeruhan dan sedimentasi, serta kondisi salinitas yang tidak normal merupakan
beberapa faktor penyebab terjadinya coral bleaching. Namun mayoritas
penyebabnya secara besar-besaran dalam dua dekade terakhir lebih disebabkan
oleh peningkatan temperatur perairan laut.
Dengan
terhambatnya fotosintesis karang akan menurunkan laju kalsifikasi dan petumbuhan
karang menjadi lambat serta meningkatnya emisi CO2 di atmosfer,
turut mempengaruhi perubahan senyawa kimia karbon di permukaan laut sehingga
mempengaruhi penurunan pH dan konsentrasi ion karbonat, yang dapat menurunkan
kejenuhan CaCO3. Bahkan peningkatan CO2 menyebabkan
berkurangnya laju kalsifikasi, sehingga menurunkan kemampuan adapatasi karang
terhadap peningkatan paras laut. Hal ini juga dapat menyebabkan fitoplankton di
laut mengalami kematian masal akibat peningkatan emisi GRK berupa CFC. Diperkirakan
16% pengurangan lapisan Ozon akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan
fitoplankton sebagai dasar rantai makanan sehingga menurunkan laju fotosintesis.
Dengan semakin kecil ukuran individu dan populasi fitoplankton, akan menurunkan
produktivitas primer yang menyebabkan terganggunya sistem rantai makanan di
perairan laut sehingga berpengaruh langsung terhadap penurunan populasi
zooplankton sebagai konsumennya dan selanjutnya berpotensi terhadap penurunan
kelimpahan ikan sebagai konsumen pada tingkatan selanjutnya.
Kenaikan Paras Laut
Pada
tahun 1990, IPCC telah membuat skenario terkait kenaikan paras laut, dimana
jika tidak terjadi upaya manusia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca,
khususnya CO2, maka paras laut akan naik kira-kira 1 m pada akhir abad ke-21
(2100), namun jika umat manusia sepakat mengurangi emisi gas rumah kaca pada
tahun 2025 (berdasarkan Protokol Kyoto), maka paras laut masih tetap naik
sekitar 60 cm. Disebabkan CO2 merupakan gas yang dapat tetap bertahan di
atmosfer selama 100 tahun lebih, sebelum akhirnya diambil oleh tumbuhan atau
dihilangkan oleh proses geokimia.
Dampak
yang dapat terjadi dengan naiknya paras laut, diantaranya; meningkatnya abrasi
pantai, banjir di wilayah pesisir yang lebih buruk, tergenangnya lahan basah
pada wilayah pesisir, meningkatnya salinitas estuaria, berubahnya kisaran
pasang-surut di sungai dan teluk, dan tenggelamnya terumbu karang.
Hal
ini juga dapat dialami Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia
yang terdiri dari 17.508 buah pulau dan sebagian besarnya merupakan pulau-pulau
kecil akan berpotensi kehilangan banyak pulau akibat kenaikan paras laut. Hasil
simulasi oleh Armi Susandi dari Institut Teknologi Bandung dalam Dault (2008)
untuk mengetahui ancaman tenggelamnya pulau-pulau dan daratan pesisir di
Indonesia, menunjukkan bahwa pada tahun 2100 sekurang-kurangnya 115 pulau yang
berada pada kepulauan Riau, Sulawesi, Maluku dan pantai Utara Jawa akan
tenggelam dan terendam air laut.
Fenomena
naiknya paras laut akibat pemanasan global akan mengancam kehidupan manusia dan
komunitas biotik lainnya, dimana secara perlahan kawasan pesisir akan mengalami
perubahan fungsional dan resiko kehilangan biota yang hidup pada lingkungan
tersebut akan sangat besar. Selain itu kawasan pesisir yang berperan penting
sebagai pusat berbagai aktifitas sosial ekonomi manusia, seperti;
perindustrian, pertambangan, pertanian, perikanan, pemukiman penduduk,
perhotelan, pariwisata, kawasan konservasi dan jasa kepelabuhanan akan
terganggu akibat ancaman terendam oleh kenaikan paras laut.
Menjaga Kelsetarian Terumbu Karang
Beberapa hal
yang bisa dilakukan
untuk menjaga kelestarian terumbu karang adalah penyusunan berbagai kebijakan terkait
pengelolaan lingkungan hidup yang berorientasi pada upaya pengurangan laju
pemanasan global. Seperti menekan tingginya tingkat deforestasi pada sektor
kehutanan, melalui penetapan jeda tebang hutan. Indonesia sebagai negara
berkembang dan salah satu negara dengan potensi hutan tropis terbesar di Dunia,
dapat menggunakan Clean Developmen Mechanism (salah satu mekanisme fleksibel
dalam protokol kyoto) untuk mendukung pelaksanaan program kehutanan nasional
seperti rehabilitasi lahan dan kegiatan penanaman hutan terdegradasi, meliputi;
pengentasan kemiskinan masyarakat di sekitar hutan, pemberantasan Illegal
Logging, pelaksanaan pengelolaan hutan lestari melalui sertifikasi hutan,
rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan. Apabila program ini berjalan
dengan baik diharapkan Indonesia dapat mengambil keuntungan dengan menjual hak
polusi yang tidak digunakannya kepada negara industi maju sebagai bentuk
mekanisme perdagangan emisi (Emission Trading) yang termasuk salah satu
mekanisme fleksibel dalam Protokol Kyoto untuk mencegah atau mengurangi emisi
GRK.
Pengurangan
emisi GRK secara di atmosfer, melalui pengembangan teknologi pembangkit listrik
berbasis energi terbaharukan dengan memanfaatkan potensi alam pesisir dan laut,
seperti; energi pasang surut, energi gelombang laut, energi angin laut dan
Ocean Thermal Energi Conversion (OTEC) sebagai pengganti penggunaan energi
fosil penghasil emisi GRK. Strategi ini diharapkan dapat menanggulangi krisis
energi di masa mendatang. Walaupun pengembangan teknologi ini membutuhkan
investasi yang sangat besar, namun rekomendasi Protokol Kyoto yang disebut Clean
Development Mechanism (CDM) dapat dijadikan solusi. CDM merupakan salah satu
mekanisme fleksibel untuk membantu negara industri maju memenuhi komitmennya
mengurangi emisi GRK melalui pelibatan negara berkembang karena berdasarkan
Protokol Kyoto negara berkembang tidak memiliki kewajiban membatasi emisi
GRK-nya, namun dapat secara sukarela berpartisipasi mengurangi emisi global
dengan menjadi tempat pelaksanaan proyek CDM, sehingga dapat memberikan
keuntungan bagi negara berkembang seperti Indonesia, melalui pengurangan biaya
investasi dan mendapatkan transfer teknologi berbasis energi terbaharukan yang
ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Pencegahan
penipisan lapisan Ozon yang diperkirakan sudah mencapai 30 % lebih, melalui
komitmen bersama untuk mengurangi penggunaaan dan membatasi produksi CFC dengan
pengembangan bahan alternatif pengganti CFC yang ramah lingkungan untuk
pendukung aktivitas manusia. Upaya ini dilakukan agar lapisan Ozon sebagai
filtrasi radiasi sinar matahari yang masuk ke Bumi dapat tetap terjaga demi
keberlanjutan kehidupan di muka Bumi, karena walaupun upaya minimalisasi
penggunaan CFC telah dilakukan, namun manfaatnya belum dapat dirasakan dalam
waktu singkat, disebakan konsentrasi CFC sekitar 8 juta ton yang dilepaskan ke
udara selama kurun waktu 50 tahun terakhir hampir seluruhnya masih berada di
atmosfer. Sehingga dibutuhkan waktu yang sangat lama agar senyawa CFC ini dapat
dihilangkan melalui proses geokimia.
Pemantauan
komunitas fitoplankton di lautan secara simultan dan berkesinambungan untuk
mengetahui pengaruh pemanasan global terhadap perkembangan komunitas
fitoplankton. Peranan fitoplankton yang sangat besar dalam mengendalikan iklim
global melalui kemampuannya menyerap CO2 secara langsung baik dari atmosfer maupun
kolom perairan untuk kebutuhan proses fotosintesisnya, sehingga upaya
mempertahankan komunitas fitoplankton di lautan baik dalam ukuran maupun
kelimpahnnya sangat diperlukan. Dalam beberapa percobaan ilmiah pernah
dilakukan pemupukan di Samudera Selatan dekat Antartika pada area seluas 300
km² dengan menggunakan unsur besi (Fe) dan dalam waktu delapan minggu telah
menghasilkan produkstivitas primer sebesar 10 kali lipat, sehingga ikut
meningkatkan kemampuan fitoplankton dalam menyerap CO2.
Pengembangan
budidaya berbagai jenis rumput laut (alga laut), karena selain dikenal sebagai
komoditas unggulan yang bernilai ekonomis penting, ternyata dalam berbagai
penelitian juga diketahui memiliki kontribusi positif dalam menyerap CO2
langsung dari atmosfer maupun dari kolom perairan sehingga membantu
pengontrolan kadar CO2 di bumi. Khusus bagi Indonesia sebagai negara bahari
yang memiliki banyak teluk, selat dan pulau-pulau kecil serta memiliki luas
laut teritorial 3,1 juta km², menjadikan usaha budidaya alga laut sangat
prospektif untuk dikembangkan, sehingga dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat pesisir, dan secara tidak langsung turut memberikan manfaat dalam
upaya mengurangi laju pemanasan global.
Menerapkan 3R yang atau Reduce,
Reuse dan Recycle serta hemat energi.
Segala sesuatu yang dilakukan
untuk mencegah pemanasan global dapat membantu
melindungi terumbu karang. Serta mendirikan dan
mendukung komunitas-komunitas masyarakat yang
mencintai lingkungan khususnya terumbu karang dalam upaya
melestarikan dan menjaga kehidupan terumbu karang baik secara langsung maupun
secara tidak langsung.
Daftar Acuan
·
http://blueonindonesia.blogspot.com/2011/01/global-warming-picu-kerusakan-terumbu.html
· http://www.alpensteel.com/article/108-230-pemanasan-global/1565-global-warming-mengancam-species-terumbu-karang-.html
·
http://indomaritimeinstitute.org/?p=860
:)
BalasHapus