Sebelum Kemerdekaan
Kegiatan usaha perikanan sejak akhir
abad 19 ditandai dengan bergesernya usaha penangkapan dari perairan laut-dalam
lepas pantai ke perairan dekat pantai. Hal ini sebagai akibat semakin
berkurangnya perahu berukuran besar jenis mayang dan tidak adanya pembuatan
perahu baru. Kemunduran tersebut disebabkan oleh perubahan
mendasar dalam system investasi, sehingga
penanaman modal di sektor perikanan tidak memberikan prospek yang menguntungkan. Namun
sejalan dengan adanya perubahan politik kolonial liberal ke politik ethis,
mendorong adanya kebijakan pemerintah yang berupaya untuk meningkatkan
kesejahterakan penduduk pribumi, termasuk di dalamnya nelayan.
Sebagai pelaksanaan politik ethis, dibentuk
komisi yang disebut Mindere
Welvaarts Onderzoek (Diminished Prosperity) dengan tugas
menyelidiki sebab-sebab terjadinya kemunduran kesejahteraan penduduk
pribumi di Jawa dan Madura, serta mencari solusi pemecahannya. Dalam
sektor usaha perikanan, hasil kerja Komisi menghasilkan laporan disertai dengan
sejumlah saran untuk meningkatkan kehidupan nelayan. Terdapat 33 saran yang
perlu dilakukan oleh pemerintah untuk upaya tersebut, termasuk 11 saran penting
berkaitan dengan perbaikan dan pembangunan kehidupan ekonomi perikanan secara
langsung. Adapun untuk mengadopsi teknik penangkapan, mulai tahun 1907
dilakukan penelitian dan percobaan penggunaan jaring tangkap dengan ukuran
lebih besar dan modern. Percobaan dilakukan di beberapa kawasan, terutama di
Laut Jawa dan Selat Madura. Pemilihan
tempat terkait dengan kegiatan penangkapan ikan di pusat kawasan yang telah
berlangsung. Kegiatan percobaan memperoleh perhatian luas, namun juga
menimbulkan kekhawatiran. Karena tidak efektif, pada tahun 1913 percobaan
dihentikan.
Walau demikian,
terdapat pengaruh inovasi pada nelayan lokal, berupa usaha merapatkan mata
jaring pada kantong, sehingga jaring dapat menangkap keseluruhan ikan, termasuk
ikan kecil yang belum dewasa yang belum bernilai untuk dipasarkan. Kemudian
secara kelembagaan instansi yang menangani masalah
perikanan diorganisasi pada tahun 1928, dan
dalam tahun 1934 dibentuk het Instituut
voor Zeevischerij (Lembaga Perikanan Laut). Lembaga ini menerima anggaran
keuangan, bertugas mengembangkan penangkapan perahu mayang dan peralatan
pendukungnya ke dalam sistem modern.
Penangkapan yang melebihi 3 mil lepas pantai harus
dilakukan dengan ijin dari pemerintah. Berdasarkan pada
perkembangan yang ada, mulai tahun 1930-an
nelayan Jepang menguasai pusat-pusat perikanan di
perairan Hindia Belanda, mulai dari Sabang, Padang di Sumatra, hingga
Makassar, Menado dan Ternate di wilayah Timur. Makassar menjadi pelabuhan utama
di wilayah perairan Timur dalam melayani ekspor hasil laut. Sampai
tahun 1935 terdapat antara 2.000 sampai 3.000 nelayan Jepang beroperasi di
perairan Hindia Belanda. Sementara jumlah emigran
Jepang di Hindia Belanda yang bermukim di Jawa sampai tahun 1939 sebanyak 6.600
orang. Bagi nelayan pribumi, nelayan Jepang dianggap telah merampas mata
pencaharian mereka, karena nelayan Jepang juga mengambil hasil laut seperti
kerang lola, toka, tripang, dan telur penyu.
Bagi nelayan Jawa, kehadiran kapal motor nelayan Jepang merupakan
suatu sumber persaingan yang serius,
karena kapal-kapal nelayan Jepang mempunyai kelengkapan
lebih baik sehingga mampu menangkap ikan lebih banyak daripada perahu milik
nelayan pribumi.
Di samping itu, kapal
motor nelayan Jepang mempunyai ruangan yang lebih luas yang dapat digunakan
untuk membawa es, sehingga ikan hasil tangkapannya mempunyai kesegaran yang
lebih lama. Lebih lanjut, pada masa pendudukan Jepang perkumpulan penangkap
ikan yang pernah ada dilebur ke dalam Gyoo
Gyoo Kumiai. Salah satu kegiatan adalah Gyomin
Dojo (Latihan Perikanan) di Pekalongan dimulai pada tanggal 25 Oktober
tahun 1936. ”kepada pemoeda kampoeng perikanan diberikan
pendidikan rohani oentoek mendirikan lingkoengan
kemakmoeran bersama di Asia Timoer Raja, djoega diadakan
pimpinan teknik tentang perikanan, soepaja dididik pemoeda kampoeng perikanan
jang hidoep hemat dan berpikir tegoeh. Djoega menoeroet kemaoean didirikan
Djawa Seinendan, mereka haroes disoeroeh mengabdikan diri
dalam masing-masing poenja pekerdjaan, pembelaan
tanah air, terlebih lagi dalam pembelaan pantai”.
Kegiatan dilakukan oleh 6 orang Nippon dari kantor
shucho, dan 4 orang Indonesia. Jadwal kegiatan sangat padat dimulai dari jam 7
pagi setelah bangun dan tengko, dilanjutkan taiso, dan kegiatan terkhir pada
jam 22 dengan tengko yang berakhir pada jam 22.30. Kumiai di bidang perikanan
secara prinsip mempunyai tugas utama dalam pengumpulan ikan dan pengadaan ikan
untuk keperluan Balatentara Jepang.
Akibat dari kebijakan tersebut, aktivitas perikanan menurun secara drastis.
Demikian pula pada tahun-tahun awal kemerdakaan, usaha perikanan belum
memperoleh perhatian dari pemerintah, kecuali dalam retorika bahasa perjuangan
bahwa nelayan merupakan salah satu unsur penting dalam revolusi. Menurut
taksiran lebih dari 50% perahu dan peralatan perikanan hancur selama masa
peperangan dari tahun 1940 sampai dengan akhir tahun 1949.
Awal kemerdekaan
Urusan perikanan
laut disatukan dengan perikanan darat. Namun mulai bulan Januari 1949, kedua
jawatan itu dipisahkan lagi. Dengan Jawatan Perikanan Laut tersebut, mulai
dipergiat lagi penelitian perikanan laut, walau belum segencar kegiatan
penelitian pada waktu sebelum perang. Lembaga itu mendorong pembuatan perahu
baru dengan memberikan bantuan pinjaman uang untuk pembelian kayu atau
memperbaiki perahu tua. Hasilnya, penangkapan ikan di Muncar dan Tratas dapat
dikatakan memuaskan, walau keadaan masih penuh kesukaran. Pembuatan perahu di
Penarukan tidak begitu berarti, disebabkan kekurangan kayu yang baik. Di Bawean
barang-barang yang dibutuhkan adalah garam, benang, pancing, dan layar. Untuk
itu diusahakan pula bantuan pinjaman. Pada umumnya kesukaran alat pengangkutan
masih menyebabkan tidak lancarnya distribusi bahan-bahan perikanan yang dipesan
oleh rakyat.
Jawatan Perikanan Laut sebagai kelanjutan dari lembaga
yang sama pada masa kolonial, dimaksudkan sebagai
jawatan bagi kepentingan umum untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan
pedagang (bakul) ikan. Hal ini berangkat dari persoalan pokok bahwa pada
dasarnya antara nelayan dengan bakul ikan mempunyai perbedaan kepentingan dalam
memperoleh keuntungan. Mengenai
pemasaran, pemerintah menjaga harga selaras dengan keadaan, agar
perikanan rakyat tetap menjadi sumber pencaharian yang menguntungkan.
Instituut voor de Zeevisserij yang
dibentuk pada tahun 1934, setelah kemerdekaan
Indonesia dirubah menjadi Yayasan Perikanan Laut (YPL) berdasarkan pada peraturan
Menteri Pertanian No. 1/55, pasal 5 sub C., berada
dibawah Kementerian Pertanian. Kemudian
berdasar pada keputusan Menteri Pertanian No. 5545/BK/SK/M, tertanggal 4 Juli
1959 mengubah YPL menjadi
P.T. Usaha Pembangunan Perikanan Indonesia (P.T UPPI).
Namun demikian,
perubahan tersebut tidak serta merta mengubah seluruh orientasi yang selama itu
telah tertanam, mengingat bahwa P.T UPPI merupakan peleburan dari Yayasan
Perikanan Laut yang lapangan kerjanya terletak di bidang penyuluhan, sehingga dasar pembangunan
stasion-stasionnya terutama tidak diarahkan kebidang komersiil. P.T. UPPI mendapat warisan dari YPL berupa
station-station beserta pegawainya. Hal ini kurang menguntungkan ditinjau dari
bidang perusahaan, karena station-stasion percobaan itu ditujukan kearah penyuluhan,
bukan kearah perusahaan, sehingga masalah untung rugi bukanlah merupakan
pertimbangan. Pertimbangannya adalah station didirikan di sekitar manyarakat
nelayan. Demikian juga mengenai para pegawainya, dari jumlahnya memang
banyak, akan tetapi tidak dipersiapkan di bidang usaha. Terbukti sebagian pegawai
sebagian besar bekerja di bidang administrasi, bukan bekerja di bidang usaha,
sehingga kapal-kapal dibagihasilkan kepada nelayan.
Kondisi yang demikian itu menyebabkan P.N Perikani
di daerah-daerah menghadapi kendala besar, sangat tergantung kepada subsidi
yang diberikan oleh pusat. Oleh karena itu agar Perusahaan Negara tersebut
tidak sampai gulung tikar didirikan Badan Pimpinan Umum (B.P.U) Perusahaan Umum
Perikanan Negara di daerah-daerah.
Tujuannya untuk sementara sampai perusahaan-perusahaan tersebut mampu berdiri
sendiri tanpa subsidi. Atas dasar alasan-alasan tersebut, Direksi B.P.U., P.N.
Perikani. Dirjen Pokala mengusulkan kepada Menteri Maritim agar P.N. Perikani
digolongkan dan diklasifikasikan sebagai public/State Company.
Perkembangan yang
menarik lainnya adalah pada sektor kredit yang diberikan pada nelayan. Sejak
tahun 1957 sampai tahun 1959 telah dikeluarkan kredit sektor perikanan sebanyak
Rp 15 juta oleh PT Bank Tani Nelayan (BTN) yang kemudian menjadi Bank Kredit
Tani Nelayan (BKTN). Bank ini dimaksudkan sebagai sarana pembangunan masyarakat
nelayan Indonesia. Latar belakangnya adalah daerah-daerah yang belum ada koperasi,
produksi pengolahan dan perdagangan hasil penangkapan ikan dikuasai
sepenuhnya oleh pedagang ikan-pelapas uang yang memberikan ijon (woeker) dengan
membebani bunga sampai 300% dalam satu musim. Ijon merupakan bagian dari
kegiatan ekonomi yang telah berlangsung lama dalam masyarakat nelayan. Ditinjau
dari beban bunga, sistim ijon dirasa sangat memberatkan. Namun keperluan
nelayan terhadap uang untuk pengadaan peralatan dan
biaya hidup terutama ketika nelayan tidak memperoleh
penghasilan karena tidak dapat melaut, merupakan kebutuhan yang tidak dapat
ditunda-tunda, sehingga faktor bunga yang tinggi sering tidak menjadi
pertimbangan. Kredit yang dikeluarkan oleh BKTN pada tahun 1960 sebanyak Rp.
436.016.500.
Dalam pemberian kredit kepada
nelayan diberlakukan sistim baru, yaitu sistim jaminan produksi. Sistim ini
sesuai dengan gerakan koperasi dan gerak irama revolusi. Pilot proyek berupa
prosesing dan pemasaran dilakukan di Cilacap, proyek penampungan dan
peningkatan garam rakyat di Rembang, Jepara dan Juana, serta kegiatan penyiapan
proyek penangkapan gill net dan penangkapan secara kombinasi. Disamping itu
dalam rangka konfrontasi dengan
Malaysia, BKTN telah memberikan kredit sebesar Rp 265.500.000, untuk
kepentingan penampungan produksi perikanan.
Faktor
lain yang mendorong usaha perikanan berkembang adalah penghapusan monopoli
garam dan pembikinan garam rakyat, sebagaimana tertera dalam Lembaran Negara
No.82 Tahun 1957.
Berdasar Keputusan Presiden
RI No. 141 dan 215 tahun 1964, dibentuklah Departemen Perikanan Darat-Laut pada tanggal
3 Juni 1964 sebagai hasil dekonsentrasi Departemen Pertanian dan Agraria. Menteri
Perikanan Darat-Laut adalah seorang Komodor Laut Hamzah Atmohardojo. Untuk
menentukan langkah-langkah kerja, departemen melakukan rapat dinas pertama
yang berlangsung dari tanggal 26-29 Nopember 1964 di
Cibogo. Hasil rapat merumuskan program departemen, namun rencana kerja tersebut
tidak terwujud karena terjadinya pergantian kabinet.
Bentuk kebijakan lain
adalah menjadikan perkumpulan perikanan yang ada ke dalam koperasi perikanan.
Sebagai bentuk kebijakan baru yang tujuan sebenarnya untuk
memberikan peningkatan kesejahteraan pada nelayan, akan tetapi berhadapan
dengan sistim yang telah ada sebelumnya, dimana sistim semacam ijon telah mengakar
sedemikian rupa, sehingga pelaku-pelaku ekonomi di sektor
ini, seperti pedagang ikan memberikan reaksi. Dalam beberapa hal, koperasi juga
menghadapi keterbatasan-keterbatasan43. Pada masa itu sebagian besar pemasaran
ikan dikuasai oleh kelompok kecil pedagang besar dari etnis Cina, yang tergabung
dalam organisasi dagang “Ek Ho Goan”.
Terbentuknya dominasi kelompok tersebut tidak terlepas dari kebijakan
pemerintah kolonial dimasa lampau yang memberikan hak
monopoli impor ikan dan perdagangan ikan dalam negri melalui sistim lelang.
Distribusi ikan sejak
dari pelabuhan kedatangan sampai ke pengecer di kotakota kecil dikuasai oleh
jaringan pedagang Cina. Demikian pula perdagangan ikan dalam negeri
mulai hasil pembelian dari nelayan penangkap
sampai pedagang pengecer kecil juga dikuasainya. Namun demikian sejalan dengan
perubahan politik, pada tahun 1965 nama besar
Ek Hoo Goan harus diganti dengan nama
Persatuan Pengusaha Hasil Perikanan Indonesia atau Perapin.
Lahirnya Undang Undang No 1/1967
tentang penanaman modal asing dengan segala fasilitas, kelonggaran dan keringanan
yang disediakan, menimbulkan perhatian yang cukup menarik bagi modal asing,
khususnya di sektor perikanan. Keikutsertaan pemodal asing
telah membuka lembaran baru dalam pembangunan ekonomi nasional dan
sejarah pembangunan perikanan laut Indonesia, namun semakin jauh dari azas
dasar berdikari.
Kebijakan Ekonomi Berdikari dan Perkembangan Sektor Perikanan.
Dengan kembalinya
Pemerintah Republik Indonesia, terdapat kesempatan untuk melakukan pembenahan
terhadap bekas koperasi perikanan laut yang sudah bubar. Kaitannya
dengan nasib nelayan, pada tingkat nasional muncul rencana untuk melakukan rehabilitasi
alat-alat penangkapan ikan dan pembenahan organisasi nelayan.
Dalam pembenahan organisasi
koperasi nelayan terjadi perubahan penting, anggota koperasi yang sebelumnya
terbatas bagi pemilik perahu, kemudian mulai tahun 1953 anggotanya diperluas
bagi semua nelayan yang ikut dalam proses
produksi. Keputusan ini mengubah
secara substansial terhadap anggota koperasi yang semula hanya dari unsur
juragan pemilik perahu kemudian harus juga melibatkan seluruh unsur yang
terlibat dalam aktivitas produksi.
Atas keputusan
pelaksanaan perluasan demokrasi dengan menerima nelayan yang hanya menyediakan
tenaganya saja menjadi anggota koperasi mendapat sambutan baik di beberapa
daerah, akan tetapi di beberapa daerah lainnya perluasan demokrasi itu mendapat
kesukaran. Dapat dipahami bahwa reaksi keberatan datang dari para juragan
karena perluasan demokrasi koperasi merugikan kepentingannya, yaitu cara
berusaha menjadi terbuka dan sebagian keuntungannya harus diserahkan kepada
koperasi. Oleh karena itu wajar jika sebagian juragan berkeberatan terhadap perluasan
anggota koperasi. Kelompok ini kemudian
oleh para
penggerak koperasi dituduh sebagai kelompok yang belum menyadari tujuan dari
keputusan perluasan demokrasi anggota koperasi secara mendalam.
Pada tahun 1953 juga terjadi pemunculan gagasan yang cukup
penting berupa suatu resolusi nelayan yang isinya menuntut kepada pemerintah
supaya membentuk satu Departemen Perikanan tersendiri. Ide tersebut muncul
sebagai keprihatinan atas kurang adanya perhatian terhadap masalah perikanan. Walau
resolusi dicetuskan pada tahun 1953, namun baru dapat terwujud pada bula Juni tahun
1964, dengan terbentuknya Departemen Perikanan Darat-Laut. Pembentukan
departemen tersendiri tersebut tidak
mempunyai pengaruh karena belum sempat
melakukan penataan, departemen tersebut dilikuidasi ke dalam Departemen
Maritim.
Pada tahun 1961 pemerintah mengambil kebijaksanaan
penting di sektor perikanan, yaitu tidak memberikan ijin
untuk impor ikan, dari Vietnam Selatan, Siam, Malaya, dan Singapura sebagaimana
berlangsung pada masa sebelumnya. Dasar pengambilan
keputusan dengan pertimbangan bahwa produksi ikan dalam negri makin meningkat, sehingga dengan keluarnya
keputusan tersebut tidak mempengaruhi penyediaan ikan di dalam negeri.
Bahkan dengan keputusan ini akan memberikan keluasan dan kebebasan serta perlindungan terhadap
usaha-usaha untuk meningkatkan produksi ikan yang dilakukan oleh para nelayan
bangsa Indonesia sendiri.
Pengaruh lain adalah
keuntungan yang diperoleh pemerintah dalam bentuk devisa yang kemudian dapat
digunakan untuk mengimpor alat-alat perikanan yang kemudian akan mendorong
produksi ikan dalam negeri. Seperti untuk mendatangkan alat-lat perikanan modern, mesin
bermotor, diesel, jala nilon, jaring dsb. Kebijakan tersebut telah membantu dan
berpengaruh terhadap pengembangan dan peningkatan produksi ikan yang dilakukan
oleh nelayan bangsa Indonesia. Kebijakan
ini merupakan implementasi
dari politik ekonomi berdikari,
dimana segala daya upaya didasarkan atas kemampuan sendiri. Sejalan
dengan pelaksanaan politik
tersebut, Pemerintah Daerah, termasuk Pemerintah
Daerah Jawa Tengah menetapkan peraturan bahwa
semua ikan basah yang ditangkap harus dikumpulkan di suatu tempat yang telah
ditunjuk untuk dijual
secara lelang, sedangkan
usaha pelelangan diserahkan kepada koperasi yang
ada.
Kebijaksanaan penting
ini juga terkait dengan keadaan hubungan politik antar bangsa terutama proyek
penghancuran neo-kolonialis. Namun dalam prakteknya
penghentian impor ikan belum dapat dilaksanakan sepenuhnya,
masih ada ikan dari luar yang dilakukan dengan cara penyelundupan, atau dalam
bentuk bukan ikan gereh, tetapi sudah menjadi bentuk olahan yang dibungkus atau
dimasukkan dalam kaleng. Meskipun demikian penghentian impor
ikan tersebut telah menghasilkan keuntungan berupa penghematan
devisa. Pemerintah dapat menghemat devisa dan
dapat menggunakannya untuk mengimpor alat-alat perikanan.
Dengan mendatangkan
alat-alat perikanan modern, mesin bermotor, diesel, jala
nilon, jaring dan sebagainya dapat mendorong produksi ikan dalam negeri. Kebijakan
tersebut secara langsung berpengaruh terhadap pengembangan dan peningkatan
produksi ikan yang dilakukan oleh para nelayan bangsa Indonesia. Secara politis
dasar dari kebijakan tersebut adalah pelaksanaan prisip berdikari dalam bidang
ekonomi, dimana segala daya upaya didasarkan atas kemampuan sendiri.
Adapun prinsip
berdikari dalam bidang perikanan mempunyai sasaran mempertinggi taraf hidup dan
kehidupan nelayan, meningkatkan produksi pangan terutama ikan, dan menjadikan
perikanan sebagai salah satu sumber usaha untuk menghasilkan devisa. Sejalan
dengan pelaksanaan prinsip berdikari dalam kebutuhan ikan, Pemerintah Daerah
Tingkat I Jawa Tengah membuat peraturan yang menetapkan
bahwa semua ikan basah yang ditangkap harus dikumpulkan di suatu tempat yang
telah ditunjuk untuk dijual secara lelang. Dengan demikian akan terjadi persaingan
pemasaran ikan secara terbuka yang memberikan
keuntungan bagi nelayan produsen. Adapun pelaksanaan lelang diserahkan kepada
koperasi perikanan yang ada. Tujuan
pemberian kewenangan koperasi sebagai pelaksana lelang agar nelayan terlepas
dari para pelepas uang atau tengkulak yang dalam
menjalin kerjasama sebagaimana berlangsung sebelum adanya koperasi, merugian nelayan
karena membebani bunga yang tinggi dan tiadanya kebebesan nelayan untuk menjual
kepada bakul lain.
Kebijaksanaan koperasi perikanan
yang bertujuan memberikan peningkatan
kesejahteraan pada nelayan tersebut dalam pelaksanaannya berhadapan dengan sistem
yang telah ada sebelumnya. Pelaku-pelaku
ekonomi nelayan yang
terjalin dalam sistem
ijon yang telah berlangsung lama dan sedemikian mengakar, sulit
untuk dapat menerima
perubahan dengan model koperasi itu begitu saja. Sementara itu, koperasi
perikanan untuk mencapai tujuannya sebagai sarana untuk meningkatkan
kesejahteraan kepada nelayan masih menghadapi beberapa kesulitan. diantaranya :
a.
Usaha
pelelangan masih terbatas hanya sampai menjualkan ikan di tempat-tempat pendaratan, sedangkan pengolahan dan
penjualan hasil olahan masih dikuasai oleh pedagang ikan.
b.
Usaha keperluan alat-alat
perikanan dan keperluan sehari-hari nelayan belum
didapatkan langsung dari pemerintah melainkan melalui begitu banyak saluran, di
luar organisasi nelayan, sehingga harga barang-barang
tersebut menjadi sangat tinggi.
c.
Usaha
perkreditan nelayan sangat terbatas baik dalam jumlah orang yang mendapat
kredit maupun jumlah uangnya.
d.
Usaha kesejahteraan nelayan
masih dalam taraf perkembangan, diatur secara setempat.
e.
Jumlah
nelayan yang tergabung dalam organisasi koperasi perikanan baru
sekitar 25%.
f.
Di
daerah-daerah dimana belum ada Koperasi Perikanan, produksi pengolahan dan
perdagangan hasil penangkapan dikuasai mutlak oleh pedagang-pedagang ikan/ pelepas
uang.
g.
Ikatan
berupa ijon masih merajalela di banyak daerah perikanan.
Pengaturan pelaksanaan
lelang ikan oleh koperasi baru menjangkau untuk ikan basah. Adapun untuk
pemasaran ikan asin sebagian besar masih dikuasai oleh sekelompok kecil
pedagang etnis China. Untuk memperoleh gambaran tentang jaringan
dan dominasi perdagangan
ikan asin oleh kelompok tersebut, sebagaimana dalam suatu pernyataan yang menggambarkan
besarnya kegiatan terdapat pernyataan yang membandingkan kegiatan usaha tersebut dengan perusahaan
Belanda yang disebut “The Big Five”.
Kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh “The
Big Five” tidak dapat menyamai besarnya perdangan ikan asin oleh Cina yang
tergabung dalam “Ek Hoo Goan”.
Meskipun pernyataan tersebut
tidak didukung angka statistik, namun dari pernyataan ini mengandung arti bahwa
gabungan perusahaan Cina tersebut tidak
dapat diragukan lagi
telah melakukan kegiatan perdagangan yang sedemikian besar dengan
daerah jangkauan pemasaran yang luas. Bahkan kelompok usaha “Ek Hoo Goan” disebut sebagai dinasti
ikan asin yang mengeruk kekayaan dari masyarakat nelayan Indonesia,
akibat kebijaksanaan pemerintah
kolonial Belanda di masa
lampau yang telah
memberikan hak monopoli
impor ikan dan perdagangan ikan
dalam negeri melalui
sistem lelang wilayah.
Dalam kebijakan tersebut berbagai
fasilitas dan perlindungan
diberikan kepada pedagang etnis
Cina, akibatnya bangsa Indonesia sulit memulai usaha dalam pemasaran ikan asin.
Cara mereka berusaha berjalan dengan bebas dan leluasa tanpa memperhatikan
kepentingan nelayan produsen.
Kegiatan impor ikan
dari mulai pelabuhan kedatangan sampai ke pengecer di kota-kota kecil dikuasai
oleh jaringan pedagang Cina. Sementara pengadaan ikan dalam negeri dari nelayan
penangkap sampai pada pedagang pengecer kecil juga menjadi kekuasaannya.
Dalam “Rencana Penggantian Kedudukan
W.N.A Cina di Bidang Perikanan oleh Koperasi Perikanan”, disebutkan
bahwa usaha pengusaha Cina di sektor perikanan telah sangat meluas mulai di bidang
produksi sampai dengan tataniaganya yang meliputi
bidang-bidang: penangkapan ikan, suplai
bahan dan alat-alat perikanan, suplai bahan makanan, pengolahan, pengangkutan lokal,
penampungan, perdagangan antar-pulau, grosir,
pedagang menengah sampai
pengecer, perkreditan,
suplai garam dan es.
Daerah-daerah
terpenting yang dikuasai
Cina, berdasarkan pada bidang usahanya
adalah: bidang produksi terjadi di Pantai Timur
Sumatera Utara, Bagansiapi-api, Bengkalis-Riau, Pantai
Utara Lamongan dan Muncar
di Jawa Timur,
dan seluruh Kalimantar
Barat. Dominasi dalam pengolahan dan penampungan terjadi di Sumatera
Utara, Riau, Jambi, Sumatera
Selatan, Jawa Timur, Kalimantan
Barat, dan Kalimantan Timur. Sementara itu
dominasi dalam tataniaga
di daerah produksi terjadi di
Sumatera Utara-Riau, Jambi, Sumatera
Selatan, Jakarta Raya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Seluruh
Kalimantan, dan Sulawesi Selatan. Sedangkan dominasi tataniaga di daerah
konsumsi terjadi di Jakarta Raya, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Dominasi
kekuasan tersebut mulai
memperoleh tentangan oleh perkembangan kondisi
perpolitikan yang anti
terhadap kekuasaan asing. Nama besar “Ek Hoo Goan” pada tahun 1965 terpaksa diganti menjadi Persatuan
Pengusaha Hasil Perairan Indonesia atau
PERAPIN, suatu nama yang dengan jelas memperlihatkan nuansa yang
terpisah dengan kata Cina. Disebutkan bahwa di Pasar Pagi Jakarta anggota ”Ek Hoo Goan” terdiri dari 32 pedagang
besar, lebih kurang 5 anggota merupakan warga negara
Indonesia dari keturunan Cina, dan lainnya adalah orang-orang Cina Totok. Perubahan
nama tersebut tidak serta merta disertai
dengan mundurnya usaha mereka di sektor perdagangan ikan asin. Jaringan
kekuasaan mereka jelas tidak dilepas secara suka rela. Perdagangan ikan asin
masih tetap dikuasai oleh golongan tersebut. Untuk mengubah jalinan mata rantai
perdagangan ikan yang sangat ketat tersebut direncanakan suatu cara
pendekatan pemasaran atau marketing
approach dalam pemasaran.
Langkah-langkah
kebijaksanaan untuk penghentian impor ikan lebih didasarkan pada aspek politik,
maka pelaksanaan operasionalnya belum dapat terwujud sepenuhnya. Hal ini
terindikasi oleh adanya suatu pernyataan bahwa sampai dengan tahun 1968 Indonesia
masih disebut sebagai importing country dalam
bidang kebutuhan ikan. Mengenai masih adanya ikan
masuk tersebut disebabkan oleh beberapa keadaan di dalam negeri diantaranya :
a.
Indonesia dengan
peralatan yang dimiliki
belum mempunyai kemampuan teknis-ekonomis untuk meningkatkan produksi dalam jumlah
yang dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri
b.
Prasarana
yang dapat menunjang peningkatan produksi baik di laut, di pantai dan di daratan boleh dikatakan belum tersedia.
c.
Dilihat
dari sudut perdagangan, mengingat Jawa Barat adalah konsumen
terbesar dari ikan asin, maka penyediaan ikan asin lebih menguntungkan kalau
diimpor.
Sampai hampir
seperempat abad sejak Indonesia merdeka, sektor perikanan mengalami perkembangan yang
belum berarti. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa baik masyarakat maupun
pemerintah sendiri kurang memberikan perhatian terhadap pembangunan, kemajuan
perikanan laut dan masyarakat nelayan. Dilihat dari anggaran yang disediakan
tiap-tiap tahun oleh pemerintah untuk sektor perikanan laut memperjelas kurang
adanya perhatian terhadap pembangunan dan kemajuan perikanan laut. Akibatnya
produksi perikanan tetap rendah, dan produksi perikanan yang rendah tersebut telah
mendorong adanya sorotan tajam dan bernada ejekan yang menyatakan bahwa
Indonesia dikaruniai oleh kekayaan ikan
yang amat banyak, akan tetapi disia-siakan karena 80% lebih ikan itu mati
karena usia tua. Pernyataan tersebut tidak terlepas dari kondisi yang ada bahwa
sampai pada tahun 1966 potensi deposit perikanan yang dimanfaatkan baru 13%,
yaitu dari potensi 5.500.000 ton per tahun yang dimanfaatkan baru mencapai
720.000 ton / tahun. Adapun yang menjadi faktor rendahnya pemanfaatan tersebut disebabkan
karena 98% produksi ikan dihasilkan oleh
perikanan rakyat yang bekerja dengan alat-alat sederhana yang kurang efektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar