Sabtu, 28 April 2012

SEJARAH PERKEMBANGAN PERIKANAN DI INDONESIA


Sebelum Kemerdekaan
Kegiatan usaha perikanan sejak akhir abad 19 ditandai dengan bergesernya usaha penangkapan dari perairan laut-dalam lepas pantai ke perairan dekat pantai. Hal ini sebagai akibat semakin berkurangnya perahu berukuran besar jenis mayang dan tidak adanya pembuatan perahu baru. Kemunduran tersebut disebabkan oleh perubahan mendasar dalam system investasi, sehingga penanaman modal di sektor perikanan tidak memberikan prospek yang menguntungkan. Namun sejalan dengan adanya perubahan politik kolonial liberal ke politik ethis, mendorong adanya kebijakan pemerintah yang berupaya untuk meningkatkan kesejahterakan penduduk pribumi, termasuk di dalamnya nelayan.
            Sebagai pelaksanaan politik ethis, dibentuk komisi yang disebut Mindere Welvaarts Onderzoek (Diminished Prosperity) dengan tugas menyelidiki sebab-sebab terjadinya kemunduran kesejahteraan penduduk pribumi di Jawa dan Madura, serta mencari solusi pemecahannya. Dalam sektor usaha perikanan, hasil kerja Komisi menghasilkan laporan disertai dengan sejumlah saran untuk meningkatkan kehidupan nelayan. Terdapat 33 saran yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk upaya tersebut, termasuk 11 saran penting berkaitan dengan perbaikan dan pembangunan kehidupan ekonomi perikanan secara langsung. Adapun untuk mengadopsi teknik penangkapan, mulai tahun 1907 dilakukan penelitian dan percobaan penggunaan jaring tangkap dengan ukuran lebih besar dan modern. Percobaan dilakukan di beberapa kawasan, terutama di Laut Jawa dan Selat Madura.  Pemilihan tempat terkait dengan kegiatan penangkapan ikan di pusat kawasan yang telah berlangsung. Kegiatan percobaan memperoleh perhatian luas, namun juga menimbulkan kekhawatiran. Karena tidak efektif, pada tahun 1913 percobaan dihentikan. 
Walau demikian, terdapat pengaruh inovasi pada nelayan lokal, berupa usaha merapatkan mata jaring pada kantong, sehingga jaring dapat menangkap keseluruhan ikan, termasuk ikan kecil yang belum dewasa yang belum bernilai untuk dipasarkan. Kemudian secara kelembagaan instansi yang menangani masalah perikanan diorganisasi pada tahun 1928, dan dalam tahun 1934 dibentuk het Instituut voor Zeevischerij (Lembaga Perikanan Laut). Lembaga ini menerima anggaran keuangan, bertugas mengembangkan penangkapan perahu mayang dan peralatan pendukungnya ke dalam sistem modern.
            Penangkapan yang melebihi 3 mil lepas pantai harus dilakukan dengan ijin dari pemerintah. Berdasarkan pada perkembangan yang ada, mulai tahun 1930-an nelayan Jepang menguasai pusat-pusat perikanan di perairan Hindia Belanda, mulai dari Sabang, Padang di Sumatra, hingga Makassar, Menado dan Ternate di wilayah Timur. Makassar menjadi pelabuhan utama di wilayah perairan Timur dalam melayani ekspor hasil laut. Sampai tahun 1935 terdapat antara 2.000 sampai 3.000 nelayan Jepang beroperasi di perairan Hindia Belanda. Sementara jumlah emigran Jepang di Hindia Belanda yang bermukim di Jawa sampai tahun 1939 sebanyak 6.600 orang. Bagi nelayan pribumi, nelayan Jepang dianggap telah merampas mata pencaharian mereka, karena nelayan Jepang juga mengambil hasil laut seperti kerang lola, toka, tripang, dan telur penyu.
Bagi nelayan Jawa, kehadiran kapal motor nelayan Jepang merupakan suatu  sumber persaingan yang serius, karena kapal-kapal nelayan Jepang mempunyai kelengkapan lebih baik sehingga mampu menangkap ikan lebih banyak daripada perahu milik nelayan pribumi.
Di samping itu, kapal motor nelayan Jepang mempunyai ruangan yang lebih luas yang dapat digunakan untuk membawa es, sehingga ikan hasil tangkapannya mempunyai kesegaran yang lebih lama. Lebih lanjut, pada masa pendudukan Jepang perkumpulan penangkap ikan yang pernah ada dilebur ke dalam Gyoo Gyoo Kumiai. Salah satu kegiatan adalah Gyomin Dojo (Latihan Perikanan) di Pekalongan dimulai pada tanggal 25 Oktober tahun 1936. ”kepada pemoeda kampoeng perikanan diberikan pendidikan rohani oentoek mendirikan lingkoengan kemakmoeran bersama di Asia Timoer Raja, djoega diadakan pimpinan teknik tentang perikanan, soepaja dididik pemoeda kampoeng perikanan jang hidoep hemat dan berpikir tegoeh. Djoega menoeroet kemaoean didirikan Djawa Seinendan, mereka haroes disoeroeh mengabdikan diri dalam masing-masing poenja pekerdjaan, pembelaan tanah air, terlebih lagi dalam pembelaan pantai”.
            Kegiatan dilakukan oleh 6 orang Nippon dari kantor shucho, dan 4 orang Indonesia. Jadwal kegiatan sangat padat dimulai dari jam 7 pagi setelah bangun dan tengko, dilanjutkan taiso, dan kegiatan terkhir pada jam 22 dengan tengko yang berakhir pada jam 22.30. Kumiai di bidang perikanan secara prinsip mempunyai tugas utama dalam pengumpulan ikan dan pengadaan ikan untuk keperluan Balatentara Jepang.  Akibat dari kebijakan tersebut, aktivitas perikanan menurun secara drastis. Demikian pula pada tahun-tahun awal kemerdakaan, usaha perikanan belum memperoleh perhatian dari pemerintah, kecuali dalam retorika bahasa perjuangan bahwa nelayan merupakan salah satu unsur penting dalam revolusi. Menurut taksiran lebih dari 50% perahu dan peralatan perikanan hancur selama masa peperangan dari tahun 1940 sampai dengan akhir tahun 1949.

Awal kemerdekaan
Urusan perikanan laut disatukan dengan perikanan darat. Namun mulai bulan Januari 1949, kedua jawatan itu dipisahkan lagi. Dengan Jawatan Perikanan Laut tersebut, mulai dipergiat lagi penelitian perikanan laut, walau belum segencar kegiatan penelitian pada waktu sebelum perang. Lembaga itu mendorong pembuatan perahu baru dengan memberikan bantuan pinjaman uang untuk pembelian kayu atau memperbaiki perahu tua. Hasilnya, penangkapan ikan di Muncar dan Tratas dapat dikatakan memuaskan, walau keadaan masih penuh kesukaran. Pembuatan perahu di Penarukan tidak begitu berarti, disebabkan kekurangan kayu yang baik. Di Bawean barang-barang yang dibutuhkan adalah garam, benang, pancing, dan layar. Untuk itu diusahakan pula bantuan pinjaman. Pada umumnya kesukaran alat pengangkutan masih menyebabkan tidak lancarnya distribusi bahan-bahan perikanan yang dipesan oleh rakyat.
            Jawatan Perikanan Laut sebagai kelanjutan dari lembaga yang sama pada masa kolonial, dimaksudkan sebagai jawatan bagi kepentingan umum untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pedagang (bakul) ikan. Hal ini berangkat dari persoalan pokok bahwa pada dasarnya antara nelayan dengan bakul ikan mempunyai perbedaan kepentingan dalam memperoleh keuntungan.  Mengenai pemasaran, pemerintah menjaga harga selaras dengan keadaan, agar perikanan rakyat tetap menjadi sumber pencaharian yang menguntungkan.
Instituut voor de Zeevisserij yang dibentuk pada tahun 1934, setelah kemerdekaan  Indonesia dirubah menjadi Yayasan Perikanan Laut (YPL) berdasarkan pada peraturan Menteri Pertanian No. 1/55, pasal 5 sub C., berada dibawah Kementerian Pertanian.  Kemudian berdasar pada keputusan Menteri Pertanian No. 5545/BK/SK/M, tertanggal 4 Juli 1959 mengubah YPL  menjadi P.T. Usaha Pembangunan Perikanan Indonesia (P.T UPPI).
Namun demikian, perubahan tersebut tidak serta merta mengubah seluruh orientasi yang selama itu telah tertanam, mengingat bahwa P.T UPPI merupakan peleburan dari Yayasan Perikanan Laut yang lapangan kerjanya terletak di bidang  penyuluhan, sehingga dasar pembangunan stasion-stasionnya terutama tidak diarahkan kebidang komersiil. P.T.  UPPI mendapat warisan dari YPL berupa station-station beserta pegawainya. Hal ini kurang menguntungkan ditinjau dari bidang perusahaan, karena station-stasion percobaan itu ditujukan kearah penyuluhan, bukan kearah perusahaan, sehingga masalah untung rugi bukanlah merupakan pertimbangan. Pertimbangannya adalah station didirikan di sekitar manyarakat nelayan. Demikian juga mengenai para pegawainya, dari jumlahnya memang banyak, akan tetapi tidak dipersiapkan di bidang usaha. Terbukti sebagian pegawai sebagian besar bekerja di bidang administrasi, bukan bekerja di bidang usaha, sehingga kapal-kapal dibagihasilkan kepada nelayan.
            Kondisi yang demikian itu menyebabkan P.N Perikani di daerah-daerah menghadapi kendala besar, sangat tergantung kepada subsidi yang diberikan oleh pusat. Oleh karena itu agar Perusahaan Negara tersebut tidak sampai gulung tikar didirikan Badan Pimpinan Umum (B.P.U) Perusahaan Umum Perikanan Negara di daerah-daerah.  Tujuannya untuk sementara sampai perusahaan-perusahaan tersebut mampu berdiri sendiri tanpa subsidi. Atas dasar alasan-alasan tersebut, Direksi B.P.U., P.N. Perikani. Dirjen Pokala mengusulkan kepada Menteri Maritim agar P.N. Perikani digolongkan dan diklasifikasikan sebagai public/State Company.
Perkembangan yang menarik lainnya adalah pada sektor kredit yang diberikan pada nelayan. Sejak tahun 1957 sampai tahun 1959 telah dikeluarkan kredit sektor perikanan sebanyak Rp 15 juta oleh PT Bank Tani Nelayan (BTN) yang kemudian menjadi Bank Kredit Tani Nelayan (BKTN). Bank ini dimaksudkan sebagai sarana pembangunan masyarakat nelayan Indonesia. Latar belakangnya adalah daerah-daerah yang belum ada koperasi, produksi pengolahan dan perdagangan hasil penangkapan ikan dikuasai sepenuhnya oleh pedagang ikan-pelapas uang yang memberikan ijon (woeker) dengan membebani bunga sampai 300% dalam satu musim. Ijon merupakan bagian dari kegiatan ekonomi yang telah berlangsung lama dalam masyarakat nelayan. Ditinjau dari beban bunga, sistim ijon dirasa sangat memberatkan. Namun keperluan nelayan terhadap uang untuk pengadaan peralatan dan biaya hidup terutama ketika nelayan tidak memperoleh penghasilan karena tidak dapat melaut, merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda, sehingga faktor bunga yang tinggi sering tidak menjadi pertimbangan. Kredit yang dikeluarkan oleh BKTN pada tahun 1960 sebanyak Rp. 436.016.500.
Dalam pemberian kredit kepada nelayan diberlakukan sistim baru, yaitu sistim jaminan produksi. Sistim ini sesuai dengan gerakan koperasi dan gerak irama revolusi. Pilot proyek berupa prosesing dan pemasaran dilakukan di Cilacap, proyek penampungan dan peningkatan garam rakyat di Rembang, Jepara dan Juana, serta kegiatan penyiapan proyek penangkapan gill net dan penangkapan secara kombinasi. Disamping itu dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia, BKTN telah memberikan kredit sebesar Rp 265.500.000, untuk kepentingan penampungan produksi perikanan.
Faktor lain yang mendorong usaha perikanan berkembang adalah penghapusan monopoli garam dan pembikinan garam rakyat, sebagaimana tertera dalam Lembaran Negara No.82 Tahun 1957.
Berdasar Keputusan Presiden RI No. 141 dan 215 tahun 1964, dibentuklah  Departemen Perikanan Darat-Laut pada tanggal 3 Juni 1964 sebagai hasil dekonsentrasi Departemen Pertanian dan Agraria. Menteri Perikanan Darat-Laut adalah seorang Komodor Laut Hamzah Atmohardojo. Untuk menentukan langkah-langkah kerja,   departemen melakukan rapat dinas pertama yang berlangsung dari tanggal 26-29 Nopember 1964 di Cibogo. Hasil rapat merumuskan program departemen, namun rencana kerja tersebut tidak terwujud karena terjadinya pergantian kabinet.
Bentuk kebijakan lain adalah menjadikan perkumpulan perikanan yang ada ke dalam koperasi perikanan. Sebagai bentuk kebijakan baru yang tujuan sebenarnya untuk memberikan peningkatan kesejahteraan pada nelayan, akan tetapi berhadapan dengan sistim yang telah ada sebelumnya, dimana sistim semacam ijon telah mengakar sedemikian rupa, sehingga pelaku-pelaku ekonomi di sektor ini, seperti pedagang ikan memberikan reaksi. Dalam beberapa hal, koperasi juga menghadapi keterbatasan-keterbatasan43. Pada masa itu sebagian besar pemasaran ikan dikuasai oleh kelompok kecil pedagang besar dari etnis Cina, yang tergabung dalam organisasi dagang “Ek Ho Goan”. Terbentuknya dominasi kelompok tersebut tidak terlepas dari kebijakan pemerintah kolonial dimasa lampau yang memberikan hak monopoli impor ikan dan perdagangan ikan dalam negri melalui sistim lelang.
Distribusi ikan sejak dari pelabuhan kedatangan sampai ke pengecer di kotakota kecil dikuasai oleh jaringan pedagang Cina. Demikian pula perdagangan ikan dalam negeri mulai hasil pembelian dari nelayan penangkap sampai pedagang pengecer kecil juga dikuasainya. Namun demikian sejalan dengan perubahan politik, pada tahun 1965 nama besar Ek Hoo Goan harus diganti dengan nama Persatuan Pengusaha Hasil Perikanan Indonesia atau Perapin.
            Lahirnya Undang Undang No 1/1967 tentang penanaman modal asing dengan segala fasilitas, kelonggaran dan keringanan yang disediakan, menimbulkan perhatian yang cukup menarik bagi modal asing, khususnya di sektor perikanan. Keikutsertaan pemodal asing telah membuka lembaran baru dalam pembangunan ekonomi nasional  dan  sejarah pembangunan perikanan laut Indonesia, namun semakin jauh dari azas dasar berdikari.

Kebijakan Ekonomi Berdikari dan Perkembangan Sektor Perikanan.
Dengan kembalinya Pemerintah Republik Indonesia, terdapat kesempatan untuk melakukan pembenahan terhadap bekas koperasi perikanan laut yang sudah bubar. Kaitannya dengan nasib nelayan, pada tingkat nasional muncul rencana untuk melakukan rehabilitasi alat-alat penangkapan ikan dan pembenahan organisasi nelayan.
Dalam pembenahan organisasi koperasi nelayan terjadi perubahan penting, anggota koperasi yang sebelumnya terbatas bagi pemilik perahu, kemudian mulai tahun 1953 anggotanya diperluas bagi semua nelayan yang ikut  dalam  proses  produksi.  Keputusan ini mengubah secara substansial terhadap anggota koperasi yang semula hanya dari unsur juragan pemilik perahu kemudian harus juga melibatkan seluruh unsur yang terlibat dalam aktivitas produksi. 
Atas keputusan pelaksanaan perluasan demokrasi dengan menerima nelayan yang hanya menyediakan tenaganya saja menjadi anggota koperasi mendapat sambutan baik di beberapa daerah, akan tetapi di beberapa daerah lainnya perluasan demokrasi itu mendapat kesukaran. Dapat dipahami bahwa reaksi keberatan datang dari para juragan karena perluasan demokrasi koperasi merugikan kepentingannya, yaitu cara berusaha menjadi terbuka dan sebagian keuntungannya harus diserahkan kepada koperasi. Oleh karena itu wajar jika sebagian juragan berkeberatan terhadap perluasan anggota koperasi.  Kelompok ini kemudian oleh para penggerak koperasi dituduh sebagai kelompok yang belum menyadari tujuan dari keputusan perluasan demokrasi anggota koperasi secara mendalam.
            Pada tahun 1953 juga terjadi pemunculan gagasan yang cukup penting berupa suatu resolusi nelayan yang isinya menuntut kepada pemerintah supaya membentuk satu Departemen Perikanan tersendiri. Ide tersebut muncul sebagai keprihatinan atas kurang adanya perhatian terhadap masalah perikanan. Walau resolusi dicetuskan pada tahun 1953, namun baru dapat terwujud pada bula Juni tahun 1964, dengan terbentuknya Departemen Perikanan Darat-Laut. Pembentukan departemen tersendiri tersebut tidak mempunyai   pengaruh karena belum sempat melakukan penataan, departemen tersebut dilikuidasi ke dalam Departemen Maritim.
            Pada tahun 1961 pemerintah mengambil kebijaksanaan penting di sektor perikanan, yaitu tidak memberikan ijin untuk impor ikan, dari Vietnam Selatan, Siam, Malaya, dan Singapura sebagaimana berlangsung pada masa sebelumnya. Dasar pengambilan keputusan dengan pertimbangan bahwa produksi ikan dalam negri makin meningkat, sehingga dengan keluarnya keputusan tersebut tidak mempengaruhi penyediaan ikan di dalam negeri. Bahkan dengan keputusan ini akan memberikan keluasan dan kebebasan serta perlindungan terhadap usaha-usaha untuk meningkatkan produksi ikan yang dilakukan oleh para nelayan bangsa Indonesia sendiri.
Pengaruh lain adalah keuntungan yang diperoleh pemerintah dalam bentuk devisa yang kemudian dapat digunakan untuk mengimpor alat-alat perikanan yang kemudian akan mendorong produksi ikan dalam negeri. Seperti untuk mendatangkan alat-lat perikanan modern, mesin bermotor, diesel, jala nilon, jaring dsb. Kebijakan tersebut telah membantu dan berpengaruh terhadap pengembangan dan peningkatan produksi ikan yang dilakukan oleh nelayan bangsa Indonesia. Kebijakan  ini  merupakan  implementasi  dari  politik ekonomi berdikari, dimana segala daya upaya didasarkan atas kemampuan sendiri.  Sejalan  dengan  pelaksanaan  politik  tersebut,  Pemerintah  Daerah, termasuk  Pemerintah  Daerah  Jawa  Tengah menetapkan peraturan bahwa semua ikan basah yang ditangkap harus dikumpulkan di suatu tempat yang telah ditunjuk  untuk  dijual  secara  lelang,  sedangkan  usaha  pelelangan diserahkan  kepada koperasi  yang  ada.
Kebijaksanaan penting ini juga terkait dengan keadaan hubungan politik antar bangsa terutama proyek penghancuran neo-kolonialis. Namun dalam prakteknya penghentian impor ikan belum dapat dilaksanakan sepenuhnya, masih ada ikan dari luar yang dilakukan dengan cara penyelundupan, atau dalam bentuk bukan ikan gereh, tetapi sudah menjadi bentuk olahan yang dibungkus atau dimasukkan dalam kaleng. Meskipun demikian penghentian   impor   ikan   tersebut   telah menghasilkan keuntungan berupa penghematan devisa. Pemerintah dapat menghemat devisa dan dapat menggunakannya untuk mengimpor alat-alat perikanan. 
Dengan mendatangkan alat-alat perikanan modern, mesin bermotor, diesel, jala nilon, jaring dan sebagainya dapat mendorong produksi ikan dalam negeri. Kebijakan tersebut secara langsung berpengaruh terhadap pengembangan dan peningkatan produksi ikan yang dilakukan oleh para nelayan bangsa Indonesia. Secara politis dasar dari kebijakan tersebut adalah pelaksanaan prisip berdikari dalam bidang ekonomi, dimana segala daya upaya didasarkan atas kemampuan sendiri. 
Adapun prinsip berdikari dalam bidang perikanan mempunyai sasaran mempertinggi taraf hidup dan kehidupan nelayan, meningkatkan produksi pangan terutama ikan, dan menjadikan perikanan sebagai salah satu sumber usaha untuk menghasilkan devisa. Sejalan dengan pelaksanaan prinsip berdikari dalam kebutuhan ikan, Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Tengah membuat peraturan yang menetapkan bahwa semua ikan basah yang ditangkap harus dikumpulkan di suatu tempat yang telah ditunjuk untuk dijual secara lelang. Dengan demikian akan terjadi persaingan pemasaran ikan secara terbuka yang memberikan keuntungan bagi nelayan produsen. Adapun pelaksanaan lelang diserahkan kepada koperasi perikanan yang ada. Tujuan pemberian kewenangan koperasi sebagai pelaksana lelang agar nelayan terlepas dari para pelepas uang atau tengkulak yang dalam menjalin kerjasama sebagaimana berlangsung sebelum adanya koperasi, merugian nelayan karena membebani bunga yang tinggi dan tiadanya kebebesan nelayan untuk menjual kepada bakul lain.
Kebijaksanaan koperasi perikanan yang bertujuan memberikan peningkatan kesejahteraan pada nelayan tersebut dalam pelaksanaannya berhadapan dengan sistem yang telah ada sebelumnya.  Pelaku-pelaku ekonomi  nelayan  yang  terjalin  dalam  sistem    ijon yang telah berlangsung lama dan sedemikian mengakar,  sulit  untuk  dapat  menerima  perubahan dengan model koperasi itu begitu saja. Sementara itu, koperasi perikanan untuk mencapai tujuannya sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan kepada nelayan masih menghadapi beberapa kesulitan. diantaranya :
a.        Usaha pelelangan masih terbatas hanya sampai menjualkan ikan di tempat-tempat  pendaratan, sedangkan pengolahan dan penjualan hasil olahan masih dikuasai oleh pedagang ikan.
b.        Usaha keperluan alat-alat perikanan dan keperluan sehari-hari nelayan belum didapatkan langsung dari pemerintah melainkan melalui begitu banyak  saluran, di  luar organisasi nelayan, sehingga harga barang-barang tersebut menjadi sangat tinggi.
c.        Usaha perkreditan nelayan sangat terbatas baik dalam jumlah orang yang mendapat kredit maupun jumlah uangnya.
d.       Usaha kesejahteraan nelayan masih dalam taraf perkembangan, diatur secara setempat.
e.        Jumlah nelayan yang tergabung dalam organisasi koperasi perikanan baru sekitar 25%.
f.         Di daerah-daerah dimana belum ada Koperasi Perikanan, produksi pengolahan dan perdagangan hasil penangkapan dikuasai mutlak oleh pedagang-pedagang ikan/ pelepas uang.
g.        Ikatan berupa ijon masih merajalela di banyak daerah perikanan.
Pengaturan pelaksanaan lelang ikan oleh koperasi baru menjangkau untuk ikan basah. Adapun untuk pemasaran ikan asin sebagian besar masih dikuasai oleh sekelompok kecil pedagang etnis China. Untuk memperoleh gambaran tentang  jaringan  dan  dominasi  perdagangan  ikan asin oleh kelompok tersebut, sebagaimana dalam suatu pernyataan   yang menggambarkan besarnya kegiatan terdapat pernyataan yang membandingkan  kegiatan usaha tersebut dengan perusahaan Belanda yang disebut “The Big Five”. Kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh “The Big Five tidak dapat menyamai besarnya perdangan ikan asin oleh Cina yang tergabung dalam “Ek Hoo Goan”. 
Meskipun pernyataan tersebut tidak didukung angka statistik, namun dari pernyataan ini mengandung arti bahwa gabungan perusahaan Cina tersebut tidak  dapat  diragukan  lagi  telah melakukan kegiatan perdagangan yang sedemikian besar  dengan  daerah jangkauan pemasaran yang luas. Bahkan kelompok usaha “Ek Hoo Goan” disebut sebagai dinasti ikan asin yang mengeruk kekayaan dari masyarakat nelayan  Indonesia,  akibat  kebijaksanaan  pemerintah  kolonial  Belanda  di masa  lampau  yang  telah  memberikan  hak  monopoli  impor  ikan  dan perdagangan  ikan  dalam  negeri  melalui  sistem  lelang  wilayah.  Dalam kebijakan  tersebut  berbagai  fasilitas  dan  perlindungan  diberikan  kepada pedagang etnis Cina, akibatnya bangsa Indonesia sulit memulai usaha dalam pemasaran ikan asin. Cara mereka berusaha berjalan dengan bebas dan leluasa tanpa memperhatikan kepentingan nelayan produsen.
Kegiatan impor ikan dari mulai pelabuhan kedatangan sampai ke pengecer di kota-kota kecil dikuasai oleh jaringan pedagang Cina. Sementara pengadaan ikan dalam negeri dari nelayan penangkap sampai pada pedagang pengecer kecil juga menjadi  kekuasaannya.  Dalam “Rencana Penggantian Kedudukan  W.N.A Cina di Bidang Perikanan oleh Koperasi Perikanan”, disebutkan bahwa usaha pengusaha Cina di sektor perikanan telah sangat meluas mulai di bidang produksi   sampai   dengan tataniaganya yang meliputi bidang-bidang: penangkapan  ikan,  suplai  bahan  dan  alat-alat perikanan, suplai bahan makanan, pengolahan, pengangkutan lokal,  penampungan,  perdagangan antar-pulau,  grosir,  pedagang  menengah  sampai  pengecer,  perkreditan, suplai  garam dan es.
Daerah-daerah terpenting  yang  dikuasai  Cina, berdasarkan pada bidang usahanya adalah: bidang produksi terjadi di Pantai Timur  Sumatera  Utara,  Bagansiapi-api,  Bengkalis-Riau,  Pantai  Utara Lamongan  dan  Muncar  di  Jawa  Timur,  dan  seluruh  Kalimantar  Barat. Dominasi dalam pengolahan dan penampungan terjadi di Sumatera Utara, Riau,  Jambi,  Sumatera  Selatan,  Jawa  Timur,  Kalimantan  Barat,  dan Kalimantan  Timur. Sementara  itu  dominasi  dalam   tataniaga  di  daerah produksi terjadi di Sumatera Utara-Riau, Jambi, Sumatera  Selatan, Jakarta Raya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Seluruh Kalimantan, dan Sulawesi Selatan. Sedangkan dominasi tataniaga di daerah konsumsi terjadi di Jakarta Raya, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
            Dominasi  kekuasan  tersebut  mulai  memperoleh  tentangan  oleh perkembangan  kondisi  perpolitikan  yang  anti  terhadap  kekuasaan  asing. Nama besar “Ek Hoo Goan” pada tahun 1965 terpaksa diganti menjadi Persatuan Pengusaha Hasil Perairan Indonesia atau  PERAPIN, suatu nama yang dengan jelas memperlihatkan nuansa yang terpisah dengan kata Cina. Disebutkan bahwa di Pasar Pagi Jakarta anggota ”Ek Hoo Goan” terdiri dari 32  pedagang  besar,  lebih  kurang 5 anggota merupakan warga negara Indonesia dari keturunan Cina, dan lainnya adalah orang-orang Cina Totok. Perubahan nama tersebut  tidak serta merta disertai dengan mundurnya usaha mereka di sektor perdagangan ikan asin. Jaringan kekuasaan mereka jelas tidak dilepas secara suka rela. Perdagangan ikan asin masih tetap dikuasai oleh golongan tersebut. Untuk mengubah jalinan mata rantai perdagangan ikan yang sangat ketat tersebut direncanakan suatu cara pendekatan pemasaran atau marketing approach dalam pemasaran.
            Langkah-langkah kebijaksanaan untuk penghentian impor ikan lebih didasarkan pada aspek politik, maka pelaksanaan operasionalnya belum dapat terwujud sepenuhnya. Hal ini terindikasi oleh adanya suatu pernyataan bahwa sampai dengan tahun 1968 Indonesia masih disebut sebagai importing country dalam bidang kebutuhan ikan. Mengenai masih adanya ikan masuk tersebut disebabkan oleh beberapa keadaan di dalam negeri  diantaranya :
a.       Indonesia  dengan  peralatan  yang  dimiliki  belum  mempunyai  kemampuan teknis-ekonomis untuk meningkatkan produksi dalam jumlah yang dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri
b.      Prasarana yang dapat menunjang peningkatan produksi baik di  laut, di pantai dan di daratan boleh dikatakan belum tersedia.
c.       Dilihat dari sudut perdagangan, mengingat Jawa Barat adalah konsumen terbesar dari ikan asin, maka penyediaan ikan asin lebih menguntungkan kalau diimpor.
Sampai hampir seperempat abad sejak Indonesia merdeka, sektor perikanan mengalami perkembangan yang belum berarti. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa baik masyarakat maupun pemerintah sendiri kurang memberikan perhatian terhadap pembangunan, kemajuan perikanan laut dan masyarakat nelayan. Dilihat dari anggaran yang disediakan tiap-tiap tahun oleh pemerintah untuk sektor perikanan laut memperjelas kurang adanya perhatian terhadap pembangunan dan kemajuan perikanan laut. Akibatnya produksi perikanan tetap rendah, dan produksi perikanan yang rendah tersebut telah mendorong adanya sorotan tajam dan bernada ejekan yang menyatakan bahwa Indonesia  dikaruniai oleh kekayaan ikan yang amat banyak, akan tetapi disia-siakan karena 80% lebih ikan itu mati karena usia tua. Pernyataan tersebut tidak terlepas dari kondisi yang ada bahwa sampai pada tahun 1966 potensi deposit perikanan yang dimanfaatkan baru 13%, yaitu dari potensi 5.500.000 ton per tahun yang dimanfaatkan baru mencapai 720.000 ton / tahun. Adapun yang menjadi faktor rendahnya pemanfaatan tersebut disebabkan karena 98% produksi ikan dihasilkan oleh perikanan rakyat yang bekerja dengan alat-alat sederhana yang kurang efektif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar