a. Zaman suku Wajak
Periode
Neolithic (3000 – 2000 SM) penduduk asli Indonesia yang disebut sebagai Wajak
hidup secara primitif dengan cara menangkap ikan dan berburu. Manusia Wajak
adalah manusia modern (Homo Sapiens) yang fosilnya ditemukan di daerah Wajak,
Jawa Timur. Manusia Wajak ini disebut sebagai manusia Homo Sapiens yang paling
arkaik atau manusia modern paling kuno yang dalam perkembangannya melahirkan
populasi aktual Selain itu, penangkapan ikan hiu juga telah dilakukan ribuan
tahun silan oleh penduduk asli Indonesia terutama mereka yang berada di wilayah
timur Indonesia.
b. Sekitar Abad 15 dan 16
Kelompok
etnis yang disebut Bajini, Makassar, Bugis, dan Bajo merintis perdagangan
tripang dan trochus untuk diperdagangkan dengan kelompok pedagang asal Cina.
Suku Bajo dikenal sebagai pelaut-pelaut yang tangguh. Namun, sejarah lebih
mengenal suku Makassar, suku Bugis, atau suku Mandar, sebagai raja di lautan.
Padahal, suku Bajo pernah disebut-sebut pernah menjadi bagian dari Angkatan
Laut Kerajaan Sriwijaya. Sehingga, ketangguhan dan keterampilannya mengarungi
samudera jelas tidak terbantahkan. Di mana ada laut, maka di sanalah suku bajo
itu mencari nafkah, dengan bernelayan.
c.
1400an-1600an: “Age of Commerce”
Abad
ke-7 dan ke-8 perdagangan telah menjadi ciri dari beberapa wilayah seperti di
Selat Malaka dan Laut Jawa. Perkembangan ekonomi dan formasi negara bahkan
sangat terkait dengan aktivitas ini. Hal tersebut juga tergambar dari hikayat
yang berkembang yang menunjukkan hubungan dialektis antara penguasa dan
pedagang.
Periode
1450-1680 menjadi periode emas ekonomi pesisir, atau Reid menyebut “age of
commerce”. Puncak keemasan ekonomi nusantara merupakan hasil dari spesialisasi
ekonomi yang tinggi (misalnya produk pangan untuk pasar domestik dan beberapa
hasil pertanian, hutan dan hasil laut, serta emas untuk pasar global), jaringan
perdagangan yang luas, merebaknya monetisasi dan urbanisasi.
Perdagangan
mutiara dan kerang-kerangan cukup penting di periode ini, namun keterangan
Zuhdi tentang perikanan Cilacap yang hanya menggunakan alat tangkap sederhana
dan nelayan mengolah hasilnya untuk dibarter dengan wilayah pedalaman menjadi
panduan kondisi lain perikanan di era ini.
d.
1800an-Pertengahan 1900an: Pasang – Surut Perikanan
Tarik-menarik
politik pesisir dan pedalaman menandai maju-mundurnya peran ekonomi wilayah ini.
Di Jawa misalnya, Houben membagi menjadi tiga periode yaitu :
1) 1600-1755
dimana terjadi perubahan orientasi politik dari pesisir ke pedalaman atau dari
perdagangan ke pertanian yang ditandai naik-turunnya kekuasaan Mataram;
2) periode
1755-1830 Jawa terpecah belah dan berakhir dengan perang. Belanda memanfaatkan
momen ini melalui serial kerjasama pengembangan pertanian tanaman ekspor dengan
para penguasa Jawa, sehingga tahun 1757 Belanda telah menguasai daerah
pedalaman.
3) 1830-1870
merupakan periode menguatnya kolonialisme. Periode ini ditandai dengan
diberlakukannya tanam paksa pada tahun 1830.
Untuk
mendukung ekspor pemerintah membangun pelabuhan, namun pelabuhan yang tumbuh
berkarakter menghisap potensi alam dan bumiputera. Keuntungan tanam paksa tidak
diterima rakyat, tetapi oleh orang Eropa, pedagang China, importir dan
eksportir selain pemerintah Belanda. Tanam paksa juga diperkirakan mendorong
penurunan tampilan industri perkapalan.
Sejak
akhir 1800an perikanan telah berorientasi pada pasar yang ditandai dengan
pertumbuhan spektakuler usaha pengolahan dan pemasaran ikan. Bahkan, pada awal
abad ke-20 Kota Bagan Si Api Api di mulut Sungai Rokan telah menjadi salah satu
pelabuhan perikanan terpenting di dunia dengan kegiatan utama ekspor perikanan.
Jawa dengan populasi 1/4 dari total penduduk Asia Tenggara pada tahun 1850
telah menjadi pasar terpenting produk perikanan khususnya ikan kering (asin)
dan terasi. Merujuk pada data van der Eng, kontribusi perikanan terhadap total
PDB pada tahun 1880 dan 1890 mencapai di atas 2% atau tertinggi yang pernah
dicapai perikanan dari seluruh periode antara 1880-2002.
Pasang-surut
perikanan tidak terlepas dari kebijakan pemerintah, permasalahan ketersediaan
sumberdaya, ekologi, ekonomi dan sosial. Kebijakan monopoli garam oleh
pemerintah dengan meningkatkan biaya sewa dari f6.000 pada tahun 1904 menjadi
f32,000 di tahun 1910 menghasilkan stagnasi dan penurunan peran industri
perikanan yang ditunjukkan oleh penurunan ekspor dari 25.900 ton ikan kering di
tahun 1904 menjadi 20.000 ton di tahun 1910. Tahun 1912 perikanan Bagan Si
Api-Api telah mengalami kemunduran berarti. Hal yang serupa dan permasalahan
pajak dan kredit juga terjadi di Jawa dan Madura. Permasalahan ekologi seperti
ekstraksi bakau dan pendangkalan perairan, serta menurunnya sumberdaya ikan
muncul dan mendorong perikanan bergerak lebih jauh dari pantai.
Pertumbuhan
industri perikanan periode 1870an sampai 1930an oleh Butcher disebut sebagai
menangkap ikan lebih banyak dengan teknologi yang sama. Periode ini diikuti
oleh perubahan teknologi dan perluasan daerah penangkapan sebagai akibat
modernisasi perikanan dan semakin langkanya ikan di daerah pinggir
(1890an-1930an). Peran nelayan Jepang dalam hal ini patut dicatat karena mereka
masuk ke Indonesia dengan profesi salah satunya sebagai nelayan. Butcher menilai
nelayan-nelayan ini datang dengan dukungan subsidi pemerintahan Meiji yang
sedang giat menggalakan industrialisasi. Teknologi perikanan yang lebih maju
membuat nelayan Jepang mendapat keuntungan yang lebih besar dari exploitasi
sumberdaya ikan.
e. Awal kemerdekaan dan akhir Orde
Lama
Kebijakan
ekonomi era ini banyak yang tidak dilaksanakan karena berbagai pergolakan
politik. Strategi pemulihan terus dilaksanakan hingga tahun 1957, namun
penampilan memburuk pada waktu Ekonomi Terpimpin yang akhinya menghasilkan
kemunduran secara struktural ekonomi Indonesia antara tahun 1940 dan 1965. Di
pertengahan 1960an ekonomi sangat merosot dengan inflasi mendekati 500%.
Diantara
wacana politik ekonomi perikanan dan kelautan adalah 1) perjuangan Konsepsi
Archipelago sesuai deklarasi Desember 1957, 2) Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) No. 5/1960, dan 3) perikanan sebagai salah satu “mainstream” pembangunan
nasional.
Konsepsi
archipelago diperkuat dengan UU No. 4 prp. 1960 tentang Perairan Indonesia,
yang diikuti Keppres 103/1963 untuk memberikan pengertian lebih luas tentang
lingkungan maritim. UU tersebut tidak hanya memperkokoh konsep wawasan
nusantara, bagi perikanan perangkat kebijakan ini menguntungan karena secara
prinsip kapal ikan asing tidak dibenarkan beroperasi di dalam lingkungan
maritim Indonesia.
Hak
pemeliharaan dan penangkapan ikan di atur dalam UUPA (pasal 47 ayat 2).
Walaupun sejarah penyusunannya tidak diwarnai debat antara konsep “kepemilikan
bersama” dan “kepemilikan tunggal” sebagaimana di Jepang yang memperkuat konsep
hak atas sumberdaya ikan dalam perundangan perikanannya , konsepsi ini menurut
Saad memberikan ruang bagi pengakuan “kepemilikan tunggal”. Sayangnya,
peraturan pemerintah yang dimaksud dalam UUPA belum atau tidak ditetapkan
sampai saat ini dan juga tidak menjadi acuan lahirnya UU No. 9/1985 tentang perikanan
ataupun UU Perikanan No. 31/2004.
Sejak
ekonomi terpimpin dicanangkan di tahun 1959, bersama minyak bumi dan hasil
hutan, perikanan menjadi harapan pengerak ekonomi nasional seperti tertuang
dalam Perencanaan Pembangunan Delapan Tahunan yang disusun Dewan Perantjang
Nasional (Depernas, sekarang Bappenas) di tahun 1961. Target pendapatan dari
ekstraksi sumberdaya perikanan menurut Pauker mencapai US$ 500 juta, namun
karena ekspektasi yang sangat berlebihan, target tersebut akhirnya direvisi
menjadi US$ 12,5 juta dalam sidang kabinet.
Setelah
mengimpor ikan pada era awal kemerdekaan, produksi perikanan terus meningkat
dari 320 ribu ton pada tahun 1940 menjadi 324 ribu ton pada tahun 1951, dan
kemudian menjadi 661 ribu ton pada tahun 1965. Pertumbuhan produksi tertinggi
7,4% per tahun dicapai pada periode 1959-1965, namun produktivitas per kapal
menurun dari 4 ton di tahun 1951 menjadi 2,8 ton pada tahun 1965. Produktivitas
nelayan juga turun dari 1 ton menjadi 0,7 ton dalam periode yang sama. Basis
perikanan pada era ini sepenuhnya di daerah pantai dan hanya sedikit industri
perikanan modern yang berkembang.
f. Orde Baru
Produksi
perikanan meningkat dari 721 ribu ton pada tahun 1966 menjadi 1,923 ribu ton
pada 1986. Produksi ikan meningkat menjadi 3.724 ribu ton tahun 1998. Setelah
mengalami pertumbuhan negatif dalam periode peralihan (1966-1967), laju
pertumbuhan produksi perikanan meningkat dari 3,5% (1968-1973) menjadi 5,3% per
tahun (1974-1978). Periode berikutnya pertumbuhan produksi perikanan cenderung
menurun (Tabel 2). Produktivitas perikanan dalam era ini walaupun tumbuh dengan
laju yang berfluktuasi (khususnya kapal), secara nomimal meningkat dari
rata-rata 4,3 ton/kapal periode 1974-1978 menjadi 8,4 ton per kapal periode
1994-1998.
Motorisasi
perikanan merupakan salah satu penyebab peningkatan produksi sektor ini. Tahun
1966 motorisasi hanya meliputi 1.4% dari total armada perikanan sebanyak
239.900 unit, menjadi 5,8% pada tahun 1975, dan mencapai 16% dari total armada
pada tahun 1980. Pada tahun 1998 armada perikanan bermotor telah mencapai 45,8%
dari total sebanyak 412.702 unit, namun data tahun ini menunjukkan hanya 21%
berupa kapal motor (“inboard motor”), dan bagian terbesar adalah perahu motor
tempel dan perahu tanpa motor. Dengan demikian, basis perikanan masih dominan
di wilayah pantai.
Konflik
antara perikanan skala besar dan skala kecil mewarnai sejarah perikanan laut
orde baru sebagai akibat dualisme struktur perikanan. Dualisme perikanan
ditunjukkan oleh Bailey pada dua kasus penting yaitu 1) introduksi trawl dan
purse seine dan 2) pengembangan budidaya udang. Kasus trawl menguatkan tesis
Hardin tentang tragedi sumberdaya kepemilikan bersama. Ketika nelayan skala
kecil dengan produktivitas rendah (1,4-6,7 ton/unit alat) semakin tersingkirkan
oleh nelayan skala besar (trawl dan purse seine) dengan produktivitas
masing-masing mencapai 70,4 ton/unit dan 38 ton/unit di tahun 1980, respon
nelayan skala kecil adalah melawan dengan berbagai cara termasuk menggunakan
bom molotov. Kondisi ini yang mendorong pemerintah melarang penggunaan trawl
secara bertahap melalui Keppres 39/1980 yang diikuti Inpress 11/1982 dan SK
Menteri Pertanian No. 545/Kpts/Um/8/1982 tentang penghapusan jaring trawl di
seluruh perairan Indonesia terhitung mulai 1 Januari 1983.
g. Pasca Reformasi
Struktur
perikanan laut di era terakhir ini juga belum banyak bergeser dimana perikanan
skala kecil masih dominan yang ditunjukkan oleh 75% armada perikanan adalah
perahu tanpa motor dan perahu motor tempel. Produksi perikanan dalam periode
1999-2001 tumbuh 2,5% per tahun, sedangkan armada perikanan mulai tumbuh
terbatas yaitu di bawah 1% per tahun. Pertumbuhan nelayan lebih tinggi dari
armada perikanan dan mendekati pertumbuhan produksi (2,1%).
Jika
periode ini dibandingkan periode sebelumnya (1994-1998), produksi perikanan
tumbuh lebih rendah (2,5%), demikian juga produktivitas kapal baik secara
nomimal maupun laju pertumbuhan. Rata-rata produktivitas perikanan periode
1994-1998 mencapai 8,4 ton/kapal dan 1.7 ton/nelayan turun menjadi 8,3
ton/kapal dan 1,5 ton/nelayan periode tahun 1999-2001. Laju pertumbuhan
produktivitas kapal mencapai 3,0% periode 1994-1998, turun menjadi 1,6% periode
1999-2001.
Berdasarkan
Nota Keuangan dan APBN tahun 2000-2005, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP)
perikanan meningkat sangat pesat dari Rp 52 miliar pada tahun 2000 menjadi Rp
450 miliar pada tahun 2003. Dibanding tahun sebelumnya, PNBP 2004 turun menjadi
Rp 282,8 miliar (di bawah target Rp 450 miliar) dan diperkirakan target PNBP
sebesar Rp 700 miliar pada tahun 2005 juga tidak tercapai karena belum
optimalnya perjanjian bilateral dengan Cina, Filipina dan, Thailand. Kondisi
ini menjadi satu tantangan bagi sektor perikanan dan kelautan untuk menjadi salah
satu “the prime mover” atau “mainstream” ekonomi nasional.
h.
Pola Pertumbuhan dan Kebutuhan Akan Pengelolaan
Pertumbuhan
perikanan dalam jangka waktu 50 tahun terakhir (1951-2001) cukup dinamis (Tabel
2). Pertumbuhan yang tinggi selama periode 1959-1965 diperkirakan tidak
terlepas dari upaya untuk medorong perikanan sebagai salah satu penggerak
ekonomi, walaupun produktivitas perikanan secara nominal cenderung menurun.
Sementara, pertumbuhan produksi yang tinggi selama orde baru terjadi pada era
pertenggahan 1970an sampai awal 1980an akibat pesatnya motorisasi perikanan
yang mencapai rata-rata di atas 15% per tahun. Pertumbuhan ini sayangnya harus
dibayar dengan berbagai konflik. Pertumbuhan produksi dua periode terakhir orde
baru semakin mengkhawatirkan karena nelayan tumbuh melampaui produksi
perikanan. Pertumbuhan produtivitas nelayan pun negatif dalam dua periode ini
(masing-masing -0,3%). Periode tahun 1999-2001 juga tidak terlalu berbeda jauh.
Gambaran ini menguatkan dugaan bahwa sumberdaya ikan semakin terbatas untuk
pertumbuhan secara berkelanjutan ekonomi pesisir.
Hasil
analisis data FAOSTAT juga menunjukkan pola pertumbuhan produksi perikanan
Indonesia dengan kecenderungan yang hampir sama, menurun terutama pada periode
terakhir 1996-2001 (2,9%) (periode 1999-2001 hanya 1,9% per tahun). Pola ini
tidak berbeda jauh dengan pertumbuhan produksi perikanan beberapa negara di
Asia khususnya Jepang, Filipina dan Thailand (Tabel 3).
Tabel
2. Keadaan Umum Perikanan Indonesia, 1951-2001
Periode
|
Produksi*
|
Nelayan
|
Kapal
Ikan
|
|||
(ton)
|
Pertumbuhan
(%)
|
(orang)
|
Pertumbuhan
(%)
|
(unit)
|
Motorisasi(%)
|
|
1951-1955
|
375
|
4,9
|
389.2
|
7.5
|
97.34
|
0,5
|
1956-1958
|
418
|
1,0
|
537.667
|
13.1
|
141.533
|
1,0
|
1959-1965
|
526
|
7,4
|
825.286
|
2.8
|
206.6
|
2,5
|
1966-1967
|
694
|
-5,9
|
866.5
|
-3.5
|
244.65
|
3,4
|
1968-1973
|
810
|
3,5
|
n.a.
|
n.a
|
279.734
|
2,9
|
1974-1978
|
1.083
|
5,3
|
825.825
|
0.9
|
253.581
|
7,3
|
1979-1983
|
1.459
|
5,0
|
1.165.433
|
5.8
|
286.599
|
21,8
|
1984-1988
|
2.041
|
4,8
|
1.358.172
|
0.9
|
316.06
|
30,4
|
1989-1993
|
2.552
|
4,9
|
1.650.517
|
5.2
|
367.729
|
35,0
|
1994-1998
|
3.419
|
3,9
|
2.045.477
|
4.2
|
407.018
|
41,2
|
1999-2001
|
3.819
|
2,5
|
2.486.144
|
2.1
|
458.003
|
48,0
|
Sumber: Analsisis Data Sekunder,
2006 (Data tahun 1951-1966 [21], 1969-1986 , 1991-2001).
Angka
pembulatan, data yang disajikan adalah nilai rata-rata masing-masing periode.
Kini,
eksploitasi perikanan terus meningkat dengan pesat bahkan meliputi tiga dimensi
dari daerah penangkapan ikan, sementara upaya konservasi dan rehabilitasi masih
terbatas. Setelah Komisi Nasional Pengkajian Stok Ikan tahun 1998 melaporkan
sebagian besar sumberdaya ikan diekploitasi secara intensif, hasil pengkajian
stok tahun 2001 diketahui 65% sumberdaya diekploitasi pada tingkat penuh atau
berlebihan, terutama di wilayah bagian barat Indonesia. Karena itu, peluang
industri perikanan akan bertumpu pada kawasan timur Indonesia dan ZEEI.
Transformasi
struktur perikanan masih tetap menjadi tantangan, sebagaimana juga upaya
pengembangan alternatif pendapatan untuk menurunkan tekanan exploitasi
sumberdaya. Menuju samudra tidak hanya dibatasi oleh kondisi ini, juga akan
oleh berbagai perangkat pengelolaan perikanan dunia misal oleh “Indian Ocean
Tuna Commission” (IOTC) dan “International Commission for the Conservation of
Atlantic Tunas” (ICCAT). Sementara, keterbatasan armada perikanan nasional juga
menjadi penyebab intensifnya penangkapan ikan ilegal. SEAPA melaporkan setiap
tahun 3.000 kapal ikan illegal dari Thailand menangkap ikan di Selat Malaka,
Laut Cina Selatan, dan Laut Arafura.
Daftar Pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/Kementerian_Kelautan_dan_Perikanan_Indonesia
diakses 10 september 2011 jam 18.30
http://www.stp.kkp.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=50&Itemid=58
diakses 14 september 2011 jam 19.45
http://ikanmania.wordpress.com/2007/12/28/menelusuri-pola-pertumbuhan-industri-perikanan-laut-indonesia-beberapa-catatan/
diakases 17 september 2011 jam 7.30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar